Lima poin sabda Sultan Hamengkubuwono X memicu polemik salah satunya terkait pelepasan gelar khalifatullah. Padahal gelar itu sudah terpasang sejak raja Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat pertama: Sultan Hamengkubuwono I.
Sebelum sabda dikeluarkan, gelar lengkap Sultan adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Rangkaian kesatuan gelar itu juga 'dikunci' dalam UU No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta.
Untuk diketahui, gelar itu juga sudah dipakai sejak Sultan HB I yang mendirikan Keraton Yogyakarta pada 1756. Pendirian kerajaan itu merupakan imbas langsung dari perjanjian Gianti yang diteken pada 1755.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sultan HB I memerintah dari tahun 1755 sampai ketika dia meninggal tahun 1792. Selanjutnya estafet kekuasaan kerajaan diserahkan ke Sultan HB II yang merupakan anak dari Sultan HB I.
Begitu juga untuk seterusnya, raja penerus merupakan anak dari raja yang sebelumnya memerintah. Namun kondisi berbeda terjadi dalam 'suksesi' Sultan HB V ke Sultan HB VI. Sultan HB V meninggal dunia karena dibunuh dan digantikan oleh Sultan HB VI yang merupakan adiknya.
Kemudian estafet kepemimpinan Kraton Yogyakarta berlanjut mengikuti garis darah Sultan HB VI. Gelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah tetap melekat kepada setiap raja yang menjabat sampai Sultan HB X melepas gelar Kalifatullah dan mengganti kata Buwono menjadi Bawono.
"Saya melihat itu harus dilihat dari berbagai perspektif. Dari sisi kebudayaan, yang beliau lakukan disayangkan karena beliau mengakhiri tradisi yang sudah selama ini dijalankan raja sebelumnya. Raja sebelumnya tak pernah mempersoalkan gelar 'Khalifatullah'. Itu kan sudah lama melekat sejak HB I sampai X," jelas sejarawan UGM Dr Sri Margana saat berbincang dengan detikcom, Selasa (5/5/2015).
Margana lantas menjelaskan bahwa makna gelar "Khalifatullah" yang melekat selama ini, meununjukkan Sultan HB sebagai raja adalah pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama. Dalam konteks kekuasaan Jawa, raja dianggap mewakili Tuhan di Bumi.
"Sekarang ini, beliau hanya ingin mereduksi fungsi raja sebagai kepala pemerintahan. Namun demikian, beliau begitu tidak salah juga. Mungkin dia punya pertimbangan. Dari dulu sampai sekarang, gelar 'Khalifatullah' dalam prakteknya tidak benar-benar dipraktekkan, hanya simbolik," jelas doktor sejarah dari Universitas Leiden, Belanda ini.
(fjp/van)