Melihat Bisnis Prostitusi Legal di Melbourne

ADVERTISEMENT

Melihat Bisnis Prostitusi Legal di Melbourne

- detikNews
Jumat, 08 Mei 2015 11:09 WIB
Melbourne -

Malam bertambah larut. Hawa dingin mulai benar-benar menusuk tulang. Di sebuah jalan sepi di sudut Melbourne, Australia, sebuah ruko sedikit lebih terang dibanding sebelahnya. Lampu merah kelap-kelip menyala menggantung di atas teras kecil.

"Di sini prostitusi legal," kata warga Indonesia yang telah bermukim 6 tahun di Melbourne, Norman (23), kepada detikcom, Rabu (7/5/2015).

Hanya di depan gedung itu terdapat parkir tiga buah mobil. Tidak ada tanda apapun di depan gedung itu jika ruko kecil itu adalah lokasi eksekusi lelaki melepas syahwat. Tidak ada poster syur, tidak ada suara musik berdentum atau etalase yang memampang perempuan berbaju mini. Setiap tamu yang masuk, tamu akan menemui ruang tamu yang disulap jadi resepsionis.

Sebuah poster cukup mencolok dipampang di dinding 'No Condom No Sex' dengan gambar alat kelamin laki-laki. Cukup mencolok juga tanda dilarang memfoto atau mengambil recording. Dan di luar itu tidak ada visualisasi sensual yang menggoda pria si hidung belang.

"Para PSK di sini terdaftar, dikontrol kesehatannya dan mereka membayar pajak," cerita Norman.

Setelah tamu masuk, seorang mami lalu menawarkan perempuan koleksinya. Tamu lalu disuruh duduk di kursi kecil di pojok ruangan seukuran 2x3 meter itu. Si Mami lalu memanggil satu per satu bergantian dengan memakai bikini menemui tamu sekadar menyebut nama. "Hallo, I'm Melisa," kata perempuan pertama dan langsung masuk kembali ke kamar.

Kelimanya berparas Asia Tenggara dengan tarif AUD 115 per setengah jam, AUD 145 per 1 jam. Mereka hanya melayani di ruko tersebut dan kalaupun ada yang ingin membawa ke hotel, tarifnya bisa berkali-kali lipat.

"Mereka di identitasnya status pekerjaan ya PSK, kalau tidak ya model majalah dewasa," cerita Norman lagi.

Setiap rumah bordil memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Seperti rumah bordil yang berada dua blok dari tempat pertama. Ruko yang tidak ada keterangannya apapun dari luar berwarna lebih terang. Begitu dibuka, seorang lelaki Tiongkok duduk di meja resepsionis dan beramah gamah sebentar. Di belakangnya, ada kain tirai kecil yang memisahkan dua ruangan. Lalu si Papi memanggil satu persatu koleksinya. Nomor yang dipanggil lalu keluar kamar dengan memakai lingire dan membuka kelambu memperkenalkan nama. Setelah itu buru-buru kelambu ditutup dan giliran perempuan kedua, ketiga, keempat dan kelima silih berganti melakukan hal yang sama.

"Orang tahunya ini tempat prostitusi dari mulut ke mulut atau internet. Tidak ada brosur, pamflet atau lainnya. Dan sengaja diletakkan di pusat kota supaya benar-benar lelaki mata keranjang yang datang menjadi malu," tutur Norman.

Lokasi ini tersebar hampir di setiap sudut Melbourne. Mereka ada yang beraktivitas selama 24 jam.

Nah, bagi yang tidak suka lawan jenis, ada juga rumah bordil khusus sesama lelaki, Subway Station. Lokasinya pun sangat strategis, tidak jauh dari stasiun kereta api di central Melbourne. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan gedung itu adalah spa esek-esek sesama jenis. Begitu masuk, tamu ditanyakan identitas dan membayar AUD 100 lalu memasuki lorong temaram. Setelah di ujung lorong, tamu wajib telanjang dan bisa mandi bersama dengan para lelaki pelacur. Selanjutnya terserah Anda, ada uang layanan semakin maksimal.

"Di sini, homoseksual sudah biasa. Masyarakat sudah tak acuh," ujar Norman.

Beda Melbourne, beda pula Jakarta. Gubernur DKI baru saja mewacanakan lokalisasi PSK dengan tujuan mengontrol populasi PSK, mengawasi kesehatan PSK dan membuat malu hidung belang. Usulan ini sontak menuai pro kontra. Lantas, mampukah Ahok mewujudkannya layaknya di Australia?

(asp/ndr)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT