Saat Wartawan-wartawan di Banda Aceh Tinggal di Tenda

Saat Wartawan-wartawan di Banda Aceh Tinggal di Tenda

- detikNews
Selasa, 15 Feb 2005 14:23 WIB
Banda Aceh - Beberapa wartawan lokal di Banda Aceh terpaksa tinggal di tenda-tenda karena tak punya tempat tinggal lagi, sejak tsunami menghantam setengah dari Kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004 lalu. Ada juga yang menumpang di tempat keluarga. Meski begitu, rutinitas pekerjaan seperti meliput kejadian-kejadian seputar rekontsruksi Aceh dan juga hal lainnya tetap terus jalan.Cut Aulia (23) adalah salah satu wartawan lokal yang kini terpaksa tinggal di tenda kecil yang berkapasitas dua orang. Jurnalis Radio Prima FM ini -jaringan Radio 68H di Aceh- mendirikan tenda tersebut di belakang halaman Radio Prima FM yang kini bermarkas di Jl. Fatahillah 4, Geuce, Banda Aceh. Maklumlah, gedung radio itu tak cukup memadai untuk menampung awak radio yang kehilangan tempat tinggal. Sejak gempa berkekuatan 8,9 SR mengguncang Aceh, bangunan tiga lantai Radio Prima FM yang dulunya terletak di Jl. K.H. Ahmad Dahlan rubuh. Gelombang tsunami yang kemudian menghantam kawasan itu membuat gedung tersebut seolah tak berbekas. Seorang jurnalis dan 2 karyawan radio itu sampai kini tak diketahui di mana rimbanya. Hilang bersama surutnya air gelombang tsunami.Di halaman belakang Radio Prima FM yang sekarang, Cut Aulia tak sendirian. Ada enam tenda lainnya di sana yang juga ditempati para jurnalis Radio Prima FM. "Sudah seminggu ini saya tinggal di sini, sejak mulai aktif kembali bertugas," akunya pada detikcom, Selasa (15/2/2005). Sebelumnya, Cut Aulia terpaksa menjalani rawat jalan di Medan setelah terbawa gelombang tsunami sekitar 1 kilometer dari kawasan kosnya di Perumnas I Jeulingke, Banda Aceh. Maut sepertinya belum menjadi takdir. Setelah terdampar di sebuah atap rumah, perempuan asal Aceh Utara ini kemudian berhasil naik ke pucuk pohon kelapa di dekat atap rumah tersebut untuk menghindari air yang terus merambat naik."Lama sekali rasanya saya di pohon kelapa itu. Saya tak tahu jam berapa, tapi saya rasa sudah sore sekali. Saya turun waktu air setinggi paha. Syukurnya, ada rumah yang masih tersisa di sekitar situ. Di rumah itu saya sempat menginap semalam," ujarnya mengingat-ngingat kejadian pada Minggu pagi, 26 Desember 2004 lalu.Setelah empat hari, keluarganya menemukan dirinya. Perempuan yang sudah menjadi jurnalis setahun belakangan ini, kemudian diboyong ke kampungnya dan selanjutnya dirawat di Medan, karena hidung, tangan serta matanya mengalami luka yang cukup serius.Rumah kosnya sendiri kini tak bisa ditempati. Kawasan Jeulingke yang bersebelahan dengan markas Brimobda NAD itu hampir rata dengan tanah. Hanya ada satu dua bangunan yang tersisa. Sebenarnya, Cut Aulia memiliki saudara di Banda Aceh untuk ditumpangi. "Tapi terlalu jauh dari kantor. Jadi saya pikir tinggal di tenda untuk saat ini masih menjadi pilihan. Biar dekat dengan kantor," katanya. Meski karena itu pula, jadwal istirahat malamnya jadi tak tentu karena biasanya mereka melewatkan malam dengan mengobrol bersama rekan lainnya sebelum radio tutup siaran pada pukul 12 malam. Sementara Muhammad Hamzah, wartawan Harian Sore Suara Pembaruan yang juga kehilangan tempat tinggal, mendapat tumpangan di rumah keluarganya di kawasan Kampung Ateuk, Banda Aceh. Tiga anak dan isterinya untuk sementara dititipkannya di Medan, di tempat keluarga isterinya. "Mudah-mudahan hal ini tidak mengganggu ritme kerja saya. Walau kadang-kadang pikiran terpecah," ucapnya. Tapi paling tidak, kata dia, dirinya masih memiliki keluarga inti yang utuh. Karena banyak di antara wartawan lokal di Banda Aceh yang harus kehilangan isteri dan anak akibat tsunami.Seperti Romi Zuliansyah, reporter TVRI Banda Aceh. Romi, begitu dirinya sering disapa rekan-rekan wartawan di Banda Aceh harus rela kehilangan anak dan isterinya. Bahkan dia juga harus kehilangan ayah, ibu, dan seorang adik perempuannya. Kini dirinya hanya tinggal bersama seorang adik laki-lakinya."Kehilangan memang dirasakan semua orang di sini. Umumnya, satu keluarga disisakan dua atau satu orang," ujar Riznal Faisal, wartawan Jawa Pos di Banda Aceh yang juga harus kehilangan isteri dan anak perempuannya yang baru berumur 1 bulan. Dahlan TH, wartawan Suara Karya yang juga sekretaris PWI NAD, kehilangan isteri dan seorang anaknya. Ferry Efendi, juru kamera SCTV di Banda Aceh kehilangan isteri dan anak perempuannya. Sampai kini, dirinya masih gigih mencari anak perempuannya yang berumur 9 tahun. "Saya yakin, dia masih hidup," katanya. Tak heran, dirinya rajin menjelajahi tiap-tiap kamp pengungsian di Banda Aceh dan Aceh Besar. Arief Rahman, wartawan Analisa juga kehilangan dua anak perempuannya. "Padahal yang paling tua akan berulang tahun pada 31 Desember. Kami sudah merencanakan akan membuat acara kecil-kecilan sekalian selamatan rumah baru. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, rumah dan dua anak saya hilang dibawa tsunami," tuturnya pada detikcom beberapa waktu lalu.Banyak pula wartawan lokal di Banda Aceh yang meninggal direnggut tsunami. Antara lain, Taufan Nugraha, reporter Radio 68H. Jenazah Taufan, bersama isteri dan anaknya sampai kini belum ditemukan. Rumahnya di kawasan Kahju, Aceh Besar rata dengan tanah. Hanya lantai keramik ruang depan yang tersisa. Selain Taufan, Najamoeddin Oemar (Kompas), Syafwan (Analisa), Muharram M Nur, Erismawati, Sayed Alwi, Ridwan Ishak, M.Rizal, Muhammad Rokan, Erwiyan, Syahrul Rahman, Razali Idris dan Tondi Rizal Putra, seluruhnya wartawan Serambi Indonesia, juga tewas akibat tsunami. Tapi rasa sakit dan kehilangan yang amat dalam tak lantas membuat para wartawan lokal di Banda Aceh kehilangan semangat meliput. Meski belum sepenuhnya kembali bertugas seperti biasa, karena kebanyakan harus mengurus keluarga dan memperbaiki rumah yang rusak. (asy/)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads