Dengan mengenakan busana kebesaran lengkap dan didampingi permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan putri-putrinya, Sultan mengucapkan Sabda Raja di Siti Hinggil Kraton, Kamis (30/4). Adik Sultan seperti GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat tidak hadir dalam acara tersebut.
Inti dari sabda itu adalah pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. Kedua, kata Khalifatullah dalam gelar Sultan 'Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat' dihilangkan.
Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. 27 Tahun
Dok Detikcom
|
2. Memutus Tradisi
(Foto: Edzan Raharjo/detikcom)
|
Kata 'Kaping Sedasa' adalah bahasa Jawa krama inggil untuk 'kesepuluh' dalam tingkatan yang paling halus dan 'Kaping Sepuluh' adalah sederajat di bawahnya atau lebih kasar. Penggantian ini menunjukkan Sultan ingin merakyat.
"Dia (Sultan HB X) ingin menyesuaikan fungsi raja di zaman global. Hamengku Buwono artinya memangku jagad (bumi/dunia), Bawono, artinya sama saja (bumi/dunia). Mungkin karena demokratisasi, Sultan ingin mendekatkan bahasa rakyat dan bahasa raja, ingin disamakan. Mungkin membahasakan keinginan rakyat, pakai bahasa rakyat," jawab sejarawan UGM Sri Margana.
3. Makna Hilangnya Gelar 'Khalifatullah'
(Foto: Edzan Raharjo/detikcom)
|
"Sekarang ini, beliau hanya ingin mereduksi fungsi raja sebagai kepala pemerintahan," kata Sri Margana.
Langkah ini dinilai tidak salah. Sultan pasti punya pertimbangan. Misalnya, dari dulu sampai sekarang, gelar 'Khalifatullah' dalam praktiknya tidak benar-benar dipraktekkan. "(Khalifatullah) Dulu mungkin hanya simbolik," jelas Margana yang juga doktor sejarah dari Universitas Leiden, Belanda ini.
4. Ubah Nama Anak dan Pergantian Tahta
Dok Detikcom
|
"Kalau sudah tahu, jangan tanya lagi," jawab Sultan di Kepatihan, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu (6/5/2015).
Soal tahta ini juga disampaikan Sri Margana. Menurut dia, dari perspektif politik, Sultan tahu bahwa calon penggantinya seorang perempuan (anak pertamanya). Sementara, dalam tradisi Islam, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin agama.
"Jadi dia (Sultan HB X) mulai dari dirinya sendiri membangun tradisi politik yang baru, menanggalkan gelar 'Khalifatullah'," jelas Margana.
5. Protes Adik dan Permintaan Maaf dari Makam Pendiri Mataram
|
"Ngerso dalem kudu nyuwun pangapuro dumateng Gusti Allah SWT, mergo ora gelem ngagem Khalifatullah," kata GBPH Prabukusumo.
Arti kalimat tersebut adalah Sultan harus meminta maaf kepada Gusti Allah karena tidak berkenan menggunakan gelar khalifatullah. Permintaan maaf perlu, karena Sultan dinilai tidak mengikuti tradisi. Sebagaimana diketahui, gelar 'khalifatullah' dipakai sejak Sri Sultan HB I atau abad 18.
Soal protes ini, Sultan hanya menjawab singkat, "Nggak masalah kalau nggak setuju, yang nggak kenal saya nggak setuju juga nggak masalah."
Halaman 2 dari 6