5 Hal 'Istimewa' soal Sabda Raja Keraton Yogyakarta

5 Hal 'Istimewa' soal Sabda Raja Keraton Yogyakarta

Triono Wahyu Sudibyo - detikNews
Rabu, 06 Mei 2015 13:58 WIB
5 Hal Istimewa soal Sabda Raja Keraton Yogyakarta
(Foto: Edzan Raharjo/detikcom)
Jakarta - Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan HB X, mengucapkan Sabda Raja untuk pertama kali. Sabda itu disampaikan di hadapan keluarga dan abdi dalem keraton. Ada protes dari adik.

Dengan mengenakan busana kebesaran lengkap dan didampingi permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas dan putri-putrinya, Sultan mengucapkan Sabda Raja di Siti Hinggil Kraton, Kamis (30/4). Adik Sultan seperti GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat tidak hadir dalam acara tersebut.

Inti dari sabda itu adalah pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. Kedua, kata Khalifatullah dalam gelar Sultan 'Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat' dihilangkan.

Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sabda kedua disampaikan pada Selasa (5/5) kemarin. Adik Sultan tidak hadir. Berikut beberapa hal istimewa soal Sabda Raja tersebut.

1. 27 Tahun

Dok Detikcom
Sejak bertahta selama 27 tahun lalu, baru kali ini Sultan mengucapkan sabda. Ia tak menyampaikan alasannya mengucapkan 'titah' itu. Beragam tafsir muncul, mulai dari keinginan Sultan lebih merakyat hingga persiapan pergantian tahta keraton.

2. Memutus Tradisi

(Foto: Edzan Raharjo/detikcom)
Penggantian gelar 'Buwono' menjadi 'Bawono', 'Kaping Sedasa' menjadi 'Kaping Sepuluh', dan penghilangan 'Khalifatullah', menunjukkan Sultan ingin memutus tradisi. Sebab, gelar itu sudah dipakai sejak Sri Sultan HB I pada abad 18.

Kata 'Kaping Sedasa' adalah bahasa Jawa krama inggil untuk 'kesepuluh' dalam tingkatan yang paling halus dan 'Kaping Sepuluh' adalah sederajat di bawahnya atau lebih kasar. Penggantian ini menunjukkan Sultan ingin merakyat.

"Dia (Sultan HB X) ingin menyesuaikan fungsi raja di zaman global. Hamengku Buwono artinya memangku jagad (bumi/dunia), Bawono, artinya sama saja (bumi/dunia). Mungkin karena demokratisasi, Sultan ingin mendekatkan bahasa rakyat dan bahasa raja, ingin disamakan. Mungkin membahasakan keinginan rakyat, pakai bahasa rakyat," jawab sejarawan UGM Sri Margana.

3. Makna Hilangnya Gelar 'Khalifatullah'

(Foto: Edzan Raharjo/detikcom)
Penghilangan 'Khalifatullah' bisa diartikan Sultan ingin mereduksi fungsi raja sebagai kepala pemerintahan. Sebelumnya, gelar itu bermakna Sultan adalah pemimpin pemerintahan sekaligus agama. Dalam konteks kekuasaan Jawa, raja dianggap mewakili Tuhan di Bumi.

"Sekarang ini, beliau hanya ingin mereduksi fungsi raja sebagai kepala pemerintahan," kata Sri Margana.

Langkah ini dinilai tidak salah. Sultan pasti punya pertimbangan. Misalnya, dari dulu sampai sekarang, gelar 'Khalifatullah' dalam praktiknya tidak benar-benar dipraktekkan. "(Khalifatullah) Dulu mungkin hanya simbolik," jelas Margana yang juga doktor sejarah dari Universitas Leiden, Belanda ini.

4. Ubah Nama Anak dan Pergantian Tahta

Dok Detikcom
Sultan mengucapkan Sabda Raja kedua pada Selasa (5/5). Adik-adik tidak hadir. Dalam sabda selama 2 menit itu, menurut abdi dalem, Sultan mengubah nama anak pertamanya, GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Apakah ini artinya anaknya akan jadi putri mahkota, akan jadi penerus tahta?

"Kalau sudah tahu, jangan tanya lagi," jawab Sultan di Kepatihan, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu (6/5/2015).

Soal tahta ini juga disampaikan Sri Margana. Menurut dia, dari perspektif politik, Sultan tahu bahwa calon penggantinya seorang perempuan (anak pertamanya). Sementara, dalam tradisi Islam, perempuan tidak boleh menjadi pemimpin agama.

"Jadi dia (Sultan HB X) mulai dari dirinya sendiri membangun tradisi politik yang baru, menanggalkan gelar 'Khalifatullah'," jelas Margana.

5. Protes Adik dan Permintaan Maaf dari Makam Pendiri Mataram

Adik Sultan tidak setuju soal isi Sabda Raja. Selain tidak hadir saat Sultan mengucapkan Sabda, mereka juga memprotes dengan cara berziarah ke makam pendiri Mataram. Penghilangan gelar 'Khalifatullah' jadi alasannya.

"Ngerso dalem kudu nyuwun pangapuro dumateng Gusti Allah SWT, mergo ora gelem ngagem Khalifatullah," kata GBPH Prabukusumo.

Arti kalimat tersebut adalah Sultan harus meminta maaf kepada Gusti Allah karena tidak berkenan menggunakan gelar khalifatullah. Permintaan maaf perlu, karena Sultan dinilai tidak mengikuti tradisi. Sebagaimana diketahui, gelar 'khalifatullah' dipakai sejak Sri Sultan HB I atau abad 18.

Soal protes ini, Sultan hanya menjawab singkat, "Nggak masalah kalau nggak setuju, yang nggak kenal saya nggak setuju juga nggak masalah."
Halaman 2 dari 6
(try/mad)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads