Umumnya sebuah kafe atau tempat makan, menghadirkan pelayan-pelayan yang piawai berkomunikasi untuk melayani pengunjung. Tapi bagaimana jika pelayan sebuah kafe punya keterbatasan dalam mendengar atau bicara?
Begitulah yang terjadi jika anda berkunjung ke 'Deaf Kafe Finger Talk'. Kafe yang mempekerjakan 5 orang pelayan di mana kesemuanya punya gangguan dalam pendengaran atau tunarungu.
Lokasi kafe itu berada di Jalan Pinang No. 37, Pamulang Timur, Tangerang Selatan. Masyarakat kadang menyebutnya Gang Pinang, yaitu ditempuh dari Jalan Dr Setiabudi, tak jauh dari bundaran Pamulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mau makan apa?" sapa seorang pelayan Nurul, dengan isyarat gerakan tangan dari dada ke atas (mau), ditambah gerakan tangan masuk ke arah mulut (makan) dan gerakan kedua telapak tangan dibuka (apa).
Nurul menyodorkan daftar menu yang disediakan di kafe bernuansa ceria tersebut. Lalu bagaimana menjawabnya? Tak perlu bingung, di meja tersedia lembar petunjuk memperagakan bahasa isyarat untuk ungkapan-ungkapan sederhana.
Sang pelayan akan dengan ramah menunggu jika anda ingin mempelajari singkat cara menyapa dengan bahasa isyarat seperti ditunjukkan dalam lembaran. Soal menu lengkap, sebetulnya secara mudah tinggal tunjuk daftar menu yang disajikan. Jika masih kesulitan maka tinggal tuliskan dalam sebuah kertas yang disediakan di atas meja.
Begitulah kafe 'Finger Talk'. Berkomunikasi dengan tangan dan mendalami kehidupan seorang tunarungu. Kafe itu adalah gagasan Dissa Syakina Ahdanisa (25), wanita muda lulusan bisnis admisnistrasi Ritsmumeikan Asia Pacific University (APU), Jepang.
Sejak lama Dissa punya keinginan untuk membangun kafe yang bisa memberdayakan orang-orang dengan kebutuhan khusus seperti tunarungu. Maka di usianya 25 tahun inilah kafe itu terwujud.
Tepatnya baru pada Minggu (3/5) lalu kafe ini dibuka. Saat itu Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany bersedia hadir setelah orangtua Dissa mengirimkan surat undangan ke kantor Airin. Sejak saat itu, kafe yang juga menyediakan workshop bagi tunarungu ini resmi dibuka.
"Saya ingin tunarungu punya akses pada pekerjaan, saya bikin kafe ini biar masyarakat berbaur dengan orang tunarungu," ucap perempuan berjilbab itu.
Saban hari kafe itu bukan tiap pukul 10.00-19.00 WIB. Semua menu dimasak hasil olah 5 orang pelayan yang memiliki gangguan pendengaran dan bicara. Mungkin di situ istimewanya, bahwa di tengah keterbatasan mereka punya banyak kelebihan.
(bal/van)