Pertama, penyebutan Buwono diganti menjadi Bawono. Kedua, gelar Khalifatullah seperti yang tertulis lengkap dalam gelar Sultan dihilangkan. Gelar lengkapnya adalah Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Ketiga, penyebutan kaping sedasa diganti kaping sepuluh. Keempat, mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Kelima, atau terakhir menyempurnakan keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dengan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya melihat kembali isi perjanjian tersebut seperti yang tertulis dalam buku "Babad Tanah Jawi". Buku itu telah dialih aksara dan terjemahan bebas oleh Sudibjo Z.H dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah tahun 1980.
Dalam buku itu di halaman 88 tertulis, Setelah Ki Juru Pemanahan menempati hutan Mataram hadiah dari Sultan Pajang karena berhasil mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang, dia bergelar Ki Ageng Mataram. Dia sudah hidup bahagia dengan kerabatanya.
Tetapi Ki Ageng Pemanahan tetap bertapa, karena mengetahui sabda Sunan Giri, bahwa di Mataram kelak akan bertahta seorang raja agung yang menguasai tanah Jawa semua. Keinginan Ki Ageng Mataram , jika betul ramalan Suan Giri, bahwa Mataram kelak akan ada raja agung, yang menguasai tanah Jawa, doa Ki Ageng Mataram mengharapkan semoga jangan keluar dari anak keturunannya.
Maka ki Ageng tidak pernah berhenti bertapa atau berprihatin. Dia selalu pergi ke hutan atau gunung. Suatu ketika dia pergi sendirian dan berniat menengok saudaranya di Gunung Kidul bernama Kyai Ageng Giring atau Ki Ageng Paderesan. Persaudaraan mereka sangat baik, sudah seperti saudara kandung. Dari situ semuanya berawal..
Ki Ageng Giring dan Bisikan Gaib
Merunut sedikit ke belakang, diceritakan bahwa Ki Ageng Giring tadi juga sangat tekun bertapa. Pekerjaannya menyadap aren. Pada waktu pagi Ki Ageng sedang memanjat pohon, di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi selamanya belum pernah berbuah.
Pada saat itu buahnya hanya satu masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bambu di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Arah suara itu datang dari sebuah kelapa muda.
"Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang minum air degan ini habis seketika, kelak seanak turunnya akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa."
Ki Ageng Giring setelah mendengar suara demikian, segera turun dari tempat penyadapan. Di bawah setelah selesai meletakkan tabungnya, kemudian cepat-cepat memanjat pohon tadi. Maka telah dipetiklah kelapa muda itu dan dibawa turun, deresannya tidak dipikir lagi.
Hanya kelapa muda yang dipikir, dibawa pulang. Setibanya di rumah kemudian dipapas, tetapi tidak segera diminum. Pikir Ki Ageng, karena masih pagi sulit kiranya untuk dapat minum sekali habis, karena belum haus. Kehendak Ki Ageng, niatnya akan menebang hutan dahulu, supaya haus. Kelapa degan kemudian disimpan di atas para di atas dapur. Sehari itu Ki Ageng tidak mengurus pekerjaan merebus legen membuat gula. Pikirannya hanya selalu pada degan saja. Ki Ageng segera pergi ke hutan berniat membabat hutan.
Ki Ageng Mataram Datang dan Minum Air Kelapa
Kembali ke cerita awal, di mana Ki Ageng Mataram mendatangi kediaman Ki Ageng Giring. Ki Ageng Mataram datang pada saat Ki Ageng Giring pergi ke hutan.
Karena sahabatnya tidak ada di rumah, ditanyakanlah kepada Nyai Giring. "Mbok ayu, kemana kakanda, tidak terlihat di rumah?"
Nyai Giring menjawab, "Kakandamu pergi ke hutan mencari kayu". Ki Ageng Mataram kemudian masuk ke dapur, ingin minum legen. Ketika dilihat di dapur sepi tidak ada kilang atau legen, yang ada hanya sebuah degan (kelapa muda) yang terletak di para (sosok), maka diambilnyalah kelapa itu, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia duduk dibalai-balai sambil melobangi degan tadi, akan diminum airnya serta berkata kepada Nyai Giring, "Mbok ayu, mengapa tidak masak legen? Saya pergi ke dapur akan minum, mencari legen tidak dapat".
Nyai Giring menjawab, "Ya, hanya sehari ini lowong, kakandamu ingin istirahat." Nyai Giring terperanjat, melihat kelapa degan sudah akan diminum oleh Ki Mataram. Cepat-cepat Nyai menegurnya, "Adi, degan itu jangan diminum airnya. Pesan kakandamu sungguh-sungguh. Jika jadi kamu minum, tentu saya dipukuli kakandamu."
Ki Ageng Mataram menjawab, "Mbok ayu, jangan khawatir, katakan saja, jika saya yang memaksa, karena saya sangat haus, kebetulan ada degan di dapur, tidak perlu memanjat sendiri."
Ki Ageng kemudian minum air degan, habis seketika tidak sisa setetes pun. Sungguh sangat nikmat rasanya.
Tidak berapa lama Ki Ageng Giring datang sambil memikul kayu. Dia langsung menuju dapur, kayu sudah diletakkan. Maksud Ki Ageng Giring akan minum air degan. Setelah melihat di para, degan tidak ada. Ki Ageng Giring segera masuk ke dalam rumah, menemui Ki Ageng Mataram, dan bertanya kepada istrinya, "Orang perempuan, degan yang saya letakkan di para tadi dimana?"
Istrinya menjawab, "Adikmu itu yang mengambil. Saya larang tidak mau. Katanya karena sangat haus, kemudian ia minum."
Ke Ageng Mataram menyambung, "Ya benar, aku kakang yang menium air degannya. Karena sangat haus. Kakang akan marah ya silakan."
Ki Ageng Giring setelah mendengar perkataan Ki Mataram merasa seakan hancur hatinya, sedih dan sangat kecewa. Lama ia terdiam. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka ia pun mengetahui akan takdir, bahwa sudah takdir Tuhan, Ki Ageng Mataram akan menurunkan raja yang menguasai tanah Jawa. Ki Ageng Giring kemudian mengatakan keadaan sebenarnya suara gaib yang datangnya dari degan tadi. Ki Ageng mempunyai permintaan kepada Ki Ageng Mataram, "Adi, permintaan saya begini saja karena air degan sudah anda minum, bagaimana saya dapat minta kembali? Sudahlah kelak keturunan saya saja bergantian dengan keturunan anda: turun anda sekali, kemudian bergantian turun saya."
Ki Pemanahan atau Ki Ageng Mataram tidak mau. Permintaan Ki Ageng Giring yang demikian nitu diajukan sampai yang keenam kalinya, Ki Ageng Mataram juga tidak mau. Kemudian ganti ki Giring minta turun yang ketujuh. Ki Ageng Mataram menjawab, "Kakang, Allahu'alam, bagaimana baiknya kelak, saya tidak mengetahui."
Ki Ageng Mataram segera pamit pulang ke Mataram.
Jadi apakah yang maksud dengan poin keempat Sabdaraja itu yakni mengubah perjanjian pendiri Mataram yakni Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan itu adalah adanya pergantian wangsa atau keturunan?
Apakah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat akan terjadi pergantian atau dipimpin dari keturunan Ki Ageng Giring seperti dalam perjanjian mereka berdua. Atau dinasti Mataram tetap dipimpin oleh keturunan Ki Ageng Mataram atau Ki Ageng Pemanahan? Apakah saat ini sudah ada keturunan yang ketujuh dan kemudian harus berganti? Walahualam
(bgs/fjp)