"kerbau yang sudah negatif karena dipotong saat sudah tua sehingga dagingnya menjadi alot mempengaruhi terjadi penurunan ini, selain karena kalah bersaing dengan sapi. Ini adalah salah satu contoh kondisi peternakan Indonesia," kata Cece dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (27/4/2015). Cece menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers Pra Orasi Ilmiah di Ruang Sidang Majelis Wali Amanah (MWA) Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Kamis (23/4).
Menurutnya, ada beberapa ternak yang belum dikonsumsi secara optimal seperti kerbau dan kambing. Di sisi lain, Indonesia impor daging sebesar 68,44 persen per tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 2013, permintaan daging nasional sebesar 2.880.340 ton, 52 persen diantaranya ayam ras pedaging, di mana bibit dan pakannya impor. Sementara untuk non unggasnya, permintaan mencapai 32,97 persen dan 11,10 persen ayam lokal.
“Konsumsi daging non unggas seperti sapi mencapai kurang lebih 23 persen, kerbau 1 persen, kambing 3 persen dan domba 2 persen. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan diversifikasi konsumsi protein hewani,” ujar Cece.
Cece juga mengatakan berbagai produk ternak sebagai sumber protein hewani sangat penting bagi pembentukan generasi bangsa Indonesia yang sehat dan cerdas, sehingga dapat meningkatkan daya saing bangsa. Menurutnya permintaan protein hewani nasional yang sangat besar berupa daging, susu, dan telur serta produk olahannya dikarenakan pesatnya pertumbuhan penduduk, meningkatnya daya beli, dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi.
Kondisi tersebut menyebabkan import ternak hidup dan produk peternakan terus dilakukan dalam jumlah besar dan terus meningkat setiap tahunnya. Padahal Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya genetik ternak asli dan lokal dengan keragaman genetik yang melimpah, tetapi belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.
“Kebijakan importasi dengan tendensi yang terus meningkat, membawa konsekuensi stabilitas ketersediaan pangan nasional menjadi rentan karena ketergantungan pada pihak luar. Kondisi tersebut dapat menjadi suatu ancaman dalam mewujudkan kemandirian pangan nasional,” ujarnya.
Menurut Cece, keterbatasan bibit unggul ternak asli dan lokal merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya agribisnis peternakan di Indonesia. Bioteknologi genetika molekuler sebagai salah bentuk bioteknologi modern yang terus mengalami perkembangan pesat dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk perbaikan genetik, pemanfaatan, serta konservasi ternak asli dan lokal pada sistem produksi ternak berkelanjutan.
(slm/ndr)