Bayangan Calo dan Politik Uang

Jelang Pilkada (3)

Bayangan Calo dan Politik Uang

- detikNews
Senin, 14 Feb 2005 11:45 WIB
Jakarta - Dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung, pencalonan kepala daerah harus lewat partai politik. Banyak calo politik berkeliaran mencari mangsa.Salah satu bagian yang diatur secara luas dalam UU No. 32/2004 adalah tata cara pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Daerah (Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota). Dalam pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 ditetapkan, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon itu diajukan oleh partai politik yang memperoleh minimal 15 persen suara atau gabungan partai politik.Peraturan tersebut mau tidak mau membuat siapa saja yang berniat menjadi kepala daerah harus memiliki cantolan partai politik sebagai kendaraannya menuju arena Pilkada. Jika tidak, seberapa hebat dan banyaknya dia memiliki pendukung, maaf-maaf saja, tidak bakal bisa.Konon situasi ini dimanfaatkan banyak pihak untuk menjadi 'calo politik'. Jadilah proses pilkada ini sebagai sebuah peluang bisnis nan prospektif. Mereka bergerak cepat mendekati bakal calon kepala daerah yang dianggap 'berpotensi'. Para calo ini biasanya menjanjikan siap membantu sang calon agar didukung oleh parpol tertentu.Tawaran itu tentunya disertai bandrol harga tertentu. Biasanya sanga calo beralasan, dana tersebut akan digunakan untuk lobi sana-sini. Pokoknya makin banyak yang bisa dikerjakan si calo, makin banyak fulus yang harus dibayar. Si calo sendiri mengaku berasal dari berbagai kalangan, termasuk juga kalangan anggota DPRD.Seorang sumber detikcom yang berniat maju ke gelanggang perebutan Bupati di salah satu daerah di Jawa Tengah, mengaku pernah didatangi oleh seseorang yang mengaku bisa membantu mewujudkan cita-citanya. Menurut sumber itu, orang tersebut mengaku bisa membuat dirinya direkomendasikan oleh salah satu parpol besar."Terus terang saya tertarik. Tapi melihat angka yang disebutkannya saya jadi berpikir dua kali. Orang itu meminta saya menyetor Rp 3 miliar katanya untuk biaya lobi orang-orang di Jakarta," ujar adik kandung dalang terkenal di Jawa Tengah ini.Di lain pihak, sejumlah pimpinan parpol mengaku sangat mengharamkan praktek percaloan ini. Masing-masing mengatakan, sistem penjaringan calon kepala daerah yang mereka terapkan kedap calo politik. Calon yang direkomendasi dipastikan memang kader terbaik dan merupakan aspirasi daerah."Kita menggunakan mekanisme bottom up, jadi hal itu (percaloan) tidak akan mungkin terjadi. Bisa dipastikan di PDIP tidak akan ada calo," kata Wakil Sekjen PDIP, Pramono Anung kepada detikcom.Hal senada juga disampaikan salah satu Ketua DPP Partai Golkar, Andi Matalata, kepada detikcom. Menurutnya Partai Golkar menerapkan sistem penjaringan yang sangat ketat. Semua petunjuk pelaksanaan mengenai Pilkada sudah dikirim ke daerah secara transparan."Kita sudah mempunyai struktur yang kuat. Bila ada yang mendengar (calo) maka itu namanya tolol. Semua strukturnya sudah jelas, bila ada yang termakan itu tolol namanya," kata Andi dengan nada tinggi.Selain marak dengan praktik pencaloan, proses Pilkada juga dikhawatirkan tidak akan bersih dari praktik money politics. Seperti pada pemilu legislatif lalu, praktik money politics sangat mungkin terjadi pada saat berlangsungnya penjaringan calon.Menurut Wakil Koordinator Indonesia Coruption Watch (ICW), Luki Djani, kepada detikcom, dalam penjaringan calon atau konvensi, karap terjadi jual beli dukungan. Seorang calon hampir dipastikan bakal mengeluarkan uang yang cukup besar agar bisa menjadi calon dari salah satu parpol atau gabungan parpol."Kami memprediksi polanya sama. Pada saat pemungutan suara, pemilihbisa dibeli suaranya. Tahap penghitungan suara juga sangat rawan, di tingkat kabupaten atau kota bisa terjadi praktik jual beli suara pada saat penghitungannya," kata Luki.Menurut Luki, kondisi ini disebabkan masih banyak lubang yang memungkinkan terjadinya praktek politik yang dalam peraturan perundangan yang ada. Peraturan yang ada saat ini tidak berbeda dengan pemilihan presiden, yakni sangat memungkinkan adanya sumbangan dana kampanye siluman alias fiktif. Lebih berbahaya lagi seorang kandidat bisa saja dicukongi untuk kepentingan kelompok-kelompok bisnis di daerahnya masing-masing.Besarnya potensi terjadinya money politics juga diakui oleh Ketua KPUD Sumatera Utara (Sumut), Irham Buana Nasution kepada detikcom. Menurutnya, semua pihak yang terlibat pilkada berpotensi terlibat, termasuk juga KPUD. Menurut Irham, KPUD bakal menghadapi sejumlah tekanan yang lebih besar dibandingkan pemilu lalu."Dan KPUD tidak akan cukup kuat menghadapi tekanan, ancaman, secaralangsung atau tidak. Dan hal ini akan berjalan dalam waktu-waktu ke depan, apalagi di Sumut ini sangat berpotensi dalam memicu persoalan-persoalan politik dan sosial Pasalnya tingkat heteregonitas di Sumut sangat tinggi," tukas Irham.Demikian pula dengan Ketua KPUD Jawa Barat, Setya Permana. Menurutnya, peluang untuk terjadinya politik uang memang selalu ada. Namun, kata Setya, hal itu tidak berarti seorang calon bakal sukses menggolkan ambisinya. Pasalnya, dalam proses pemilihan langsung masyarakat akan bersikap lebih kritis."Mayarakat sekarang sudah pintar, walaupun ada 'serangan fajar' belum tentuakan terpilih. Kalau dulu ketika pemilihan dilakukan oleh legislatif 'ngebomnya' memang gampang. Tapi ini jutaan orang, dana yang diperlukan tentu lebih besar," ungkap Setya.Sinyalemen paling mutakhir datang dari Solo. Di kota ini jumlah uang palsu pada tahun 2004 meningkat 54 persen. Peningkatan itu diduga terkait dengan Pemilu dan dikhawatirkan tahun 2005 peredaran uang palsu itu semakin meningkat seiring dengan digelarnya Pilkada.Uang palsu yang dilaporkan ke BI Cabang Solo pada tahun 2004 terdapat 2.941 lembar dengan angka nominal Rp 173 juta. Jumlah tersebut meningkat dibanding laporan tahun 2003 sebanyak 2.494 lembar senilai Rp 112 juta."Peningkatannya mencapai 54 persen. Pecahan uang palsu yang paling banyak dilaporkan adalah Rp 50 ribu. Laporan temuan uang palsu dari masyarakat rata-rata dua lembar per hari. Paling tinggi terjadi pada bulan Nopember. Pada bulan itu ada hari raya Idul Fitri, kebutuhan masyarakat terhadap uang meningkat," papar Pimpinan BI Solo, Sutikno.Faktor lain yang diduga meningkatkan peredarab uang palsu pada tahun 2004 adalah pelaksanaan Pemilu, baik legislatif maupun Pilpres. Karenanya dikhawatirkan pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah juga memungkinkan meningkatkan peredaran uang palsu. Pada tahun 2005 ini, kecuali Kabupaten Karanganyar, seluruh kabupaten dan kota di Surakarta akan menggelar Pilkada. (djo/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads