Masyarakat yang turun temurun hidup di hutan tidak dapat lagi memanfaatkan pohon yang ditanam di pekarangannya karena dianggap tidak memiliki Surat Keterangan Asal Usul (SKAU). Jadi untuk apalagi mereka tinggal di hutan jika tidak dibolehkan lagi memanfaatkan kesuburan alam untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.
"Logika hukum yang dibangun untuk menuntut nenek Asyani kiranya keliru dan subyektif karena Pasal 600 KUH Perdata menegaskan setiap orang yang menanam dan menyemai di pekarangannya maka dianggap pemiliknya, sehingga nenek Asyani adalah pemilik kayu yang berwenang," kata Ketua Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi), Rivai Kusuma Negara dalam keterangan tertulisnya, Jumat (17/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengenai tuduhan pencurian, kiranya tidak terbukti karena kayu yang hilang di Perhutani sebanyak dua batang, sedang yang berada dalam penguasaan nenek Asyani baik yang di bengkel kayu maupun rumahnya lebih dari dua batang," jelasnya.
"Selain juga tidak logis nenek Asyani mengangkat batang kayu dengan menempuh jalan terjal berkilo-kilometer, sedang untuk berjalan menghadiri lokasi sidang saja sulit. Di samping jaksa sendiri tidak mendakwakan pasal pencurian tersebut," imbuhnya.
PBH Peradi berharap agar hakim dalam putusannya mampu merepresentasikan rasa keadilan masyarakat dan melawan stigma hukum yang tajam ke bawah. "Saatnya pengadilan mengaumkan marwahnya dengan membebaskan nenek Asyani dari dakwaan," tegas Rivai.
(kha/kha)