Bersama rombongan dari BNP2TKI, detikcom berkesempatan melihat langsung kehidupan TKI ilegal asal Madura yang bekerja sebagai buruh konstruksi di salah satu proyek gedung perkantoran di kawasan Subang Jaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Dari luar pagar, untuk menuju lokasi tempat tinggal mereka kami harus menyusuri lorong kecil yang dibuat dari besi-besi material bangunan dan hanya ditutup triplkes dan jaring-jaring sebagai pelindung dari bahan bangunan yang jatuh.
TKI ini tinggal di lantai 3 gedung tersebut. Bersama buruh lainnya, mereka membangun kamar-kamar semi permanen dari tripleks sebagai tempat tinggal. Senin (12/4/2015) malam, tampak TKI asal Bangladesh yang jumlahnya cukup banyak sedang asyik bercengkrama satu sama lain sambil menonton TV. Melewati bedeng milik mereka, kita menjumpai puluhan bedeng miliki TKI Madura yang seperti disulap layaknya sebuah kampung. Kamar-kamar berjejer rapi dengan dengan teras kecil di depannya untuk tempat mereka berkumpul.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di kampung itulah segala aktivitas sehari-hari mereka lakukan. Usai bekerja, mereka melepas lelah sambil berbincang membicarakan apa saja termasuk kondisi keluarga, kebijakan pemerintah Malaysia hingga isu politik yang hangat di Indonesia.
"Karena kita tak bisa kemana-mana, jadilah kami berbincang-bincang di sini saja," kata salah satu buruh asal Sampang, Sayudi.
Sayudi dan istrinya sudah 10 tahun berada di Malaysia. Lelah mengurus izin tinggal yang disebutnya berbelit-belit, akhirnya Sayudi dan istrinya menjadi TKI ilegal dan kerja sebagai buruh bangunan.
Dalam 'kampung' kecil itu ada juga warung yang menyediakan berbagai jajanan dan makanan untuk para buruh. Pemilik warung itu adalah Marjuti (42), wanita asal Sampang Madura. Ia mengatakan sudah 20 tahun tinggal di Malaysia dengan sang suami dan bekerja menjadi buruh konstruksi dari satu proyek ke proyek lainnya. Baru 5 tahun terakhir ia bekerja sebagai pekerja konstruksi tapi juga 'nyambi' berdagang
Warung itu layaknya warung kecil pada umumnya di Indonesia. Di buat dari bahan tripeks, warung itu menyediakan berbagai minuman, kacang-kacangan, roti hingga makanan untuk para buruh. Ia memiliki kulkas dan coolbox untuk menyimpan bahan-bahan makanan mentah yang akan diolahnya.
Warung, kamar dan segala fasilitas buruh ini dibangun oleh subkontraktor yang mempekerjakan mereka. Marjuti bercerita, biasanya mereka baru akan dipanggil bekerja saat 'kampung' mereka sudah selesai dibangun. Tak jarang isi toko milik Marjuti juga disuplai dari subkontraktor tersebut. Usaha warung itu dimulainya tahun 2009 dengan modal RM 20 ribu. Saat itu ia menjadi salah satu buruh bangunan dan iseng-iseng berjualan dan berlanjut hingga hari ini.
Ibu 2 anak itu hanya sendiri mengurus warungnya. Untuk jajanan, ia membelinya di supermarket terdekat sedangkan untuk bahan makanan siap sajinya, seminggu sekali ia berbelanja ke pasar segar yang berada tak jauh dari lokasi proyek. Ia memasak dan menyediakan makanan itu untuk buruh yang masih bujang. Karena pengupahan yang tak tentu waktunya, ia pun tak masalah diutangi oleh para pekerja.
"Kita sama-sama tahulah jadi tak masalah kalau mereka berutang. Asal ingat dibayar saja," ujar Marjuti.
Jualannya laku tak hanya oleh rekan sekampungnya, namun juga dari pekerja asal Bangladesh. Tak ada perbedaan harga yang diberikannya pada orang MAdura atau pekerja dari negara lain. Perasaan senasib sebagai buruh membuatnya tak tega membuat perbedaan harga itu.
"Kita sama-sama cari makan di sini. Jadi tidak perlu dibedakan harganya," ujarnya.
Misalnya saja, untuk sekaleng red bull berukuran kecil, ia menjualnya seharga RM 1, 50. Ia bercerita tak ada bedanya antara buruh di Indonesia dan di Malaysia. Buruh di Malaysia juga gemar minum minuman energi yang segar karena kondisi cuaca yang panas di Malaysia. Untuk segelas minuman energu ia menjualnya RM 50 cen.
Di proyek tersebut tak hanya ada TKI Madura namun ada juga dari Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Lombok. Namun, mereka mengerjakan pekerjaan yang berbeda. Ia pun tak sendirian menjual. Di lantai 2 disebutnya juga ada warung seperti miliknya. Karena itu, sebagian besar pembelinya adalah pekerja yang tinggal di lantai 3 saja.
Ia juga menyediakan meja dan kursi kayu untuk para pekerja yang membeli jualannya. Duduk dan bercengkrama satu sama lain disebutnya membuatnya seperti berada di kampung sendiri.
Dari hasil warung itu, setiap bulan ia mengirim uang Rp 2 juta untuk 2 anaknya di kampung dan Rp 2 juta untuk orang tuanya. Sudah 3 tahun terakhir ia tak pulang karena tak memiliki dokumen dan menjadi TKI ilegal.
Untuk proyek saat ini, ia sudah tak menjadi pekerja. Marjuti sepenuhnya berdagang dan hanya suaminya yang bekerja sebagai buruh. Ia bercerita sebenarnya sudah mengurus izin tinggal dengan meminta tolong pada subkontraktornya sejak awal proyek itu berjalan yakni September tahun lalu. Namun hingga saat ini izin tinggal itu tak juga didapatnya. Paspor pun ia mengaku tak punya.
"TIdak ada kartu identitas apa-apa. KTP Indonesia pun tak punya," kata Marjuti saat ditanya soal kartu identitasnya.
Marjuti, Sayudi dan puluhan TKI di proyek tersebut hanya bagian kecil dari ratusan ribu TKI ilegal di Malaysia namun tetap bisa memperoleh pekerjaan di Malaysia. Karena tak memegang izin tinggal bahkan banyak di antaranya tak memiliki paspor. Akibatnya, mereka harus kucing-kucingan dengan pihak pemerintah Malaysia agar tak ditangkap dan dideportasi ke Indonesia.
Mereka bukan tak tahu bahaya dari menjadi TKI ilegal. Namun, banyaknya percaloan, penipuan dari orang-orang yang mengaku dari KBRI ataupun agen tenaga kerja membuat mereka memilih menjadi ilegal. Sayudi mengatakan ia sudah mengeluarkan uang RM 5 ribu untuk mengurus izin tinggal namun hingga hari ini tak ada karena ditipu tekong.
Dalam kunjungannya, Ketua BNP2TKI Nusron Wahid mendengar keluhan dari pekerja dan berjanji memberi solusi bagi para TKI ilegal. Ia berharap para pekerja bisa mengerti pentingnya legalitas untuk keselamatan mereka di Malaysia.
"Mau ilegal atau tidak, bapak-bapak ibu-ibu adalah warga negara Indonesia. Pemerintah wajib melindungi. Namun, harus dipahami juga legalitas itu perlu biar kami bisa memperjuangkan kalau ada masalah di sini," ujar Nusron di depan puluhan TKI yang berkumpul.
Direktur Mediasi dan Advokasi BNP2TKI Teguh Handro Cahyono mengatakan masih ada hak-hak TKI yang bisa diperjuangkan meski mereka berstatus ilegal.
"Kita bisa memperjuangkan gaji mereka jika memang tidak dibayar oleh mandornya. Selain itu kalau dia sakit dan masuk rumah sakit, itu juga bisa ditanggung karena itu hak dasar pekerja dan harus dipenuhi," kata Teguh.
(ndr/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini