Tim sosial budaya Subkorwil 4/Bima Ekspedisi NKRI 2015, Fitriatul Fauziah mengatakan, para warga sekitar bahkan ada yang menempatkan ternak mereka di Pulau Sangiang. Pemilik membawa ternak mereka dengan menggunakan kapal ke pulau tak berpenghuni tersebut. Setibanya di sana, ternak itu mereka lepas begitu saja dan ditinggal.
"Ditengok paling 3 bulan sekali sama pemiliknya. Itupun hanya ngecek dengan memanggil nama ternaknya," kata Fitri di Desa Panda, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, NTB, Minggu (12/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memanggilnya biasa saja, dipanggil nama. Misalnya nama kuda Merry, ya dipanggil Merry," terang Fitri.
Tim ahli sosial budaya Subkorwil 4/Bima Ekspedisi NKRI 2015, Juwita Rustiani juga mengaku heran dengan perilaku para warga Wera tersebut. Menurutnya ini adalah budaya yang langka.
"Unik ini. Biasanya panggilan ternak dengan 'ooo' atau gimana, ini manggilnya nama. Seperti manusia," tutur Juwita.
Untuk mencegah ternak masuk ke kebun penduduk, peternak memasang kalung berupa kayu yang melintang di leher atau biasa disebut dengan nama tongge. Biasanya tongge dipasang di leher kambing. Dengan mengenakan tongge, kambing-kambing itu akan terhalang saat hendak menerobos pagar.
Sementara untuk sapi, dipasang lonceng di leher. Sehingga saat hendak mendekat ke kebun, penduduk mendengar langkahnya. Penduduk setempat, Doru mengatakan, kehilangan binatang ternak bukanlah hal langka di Bima. Namun mereka tetap saja membiarkan ternak berkeliaran.
"Ya memang budayanya seperti ini. Penduduk sudah biasa," tutur warga Desa Panda ini.
(kff/vid)