Bahkan 2 suku yang mewakili 2 kerajaan di daerah tersebut hilang tak tersisa, yaitu Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora. Sehingga dari 6 suku yang ada di Bima, yaitu Suku Bima, Dompu, Sumbawa, Sanggar, Pekat dan Tambora, hanya tersisa 4 suku. Kitab Bo Sangaji Kai sendiri ditulis dalam bahasa Arab-Melayu dengan jumlah halaman 120 yang disusun sejak tahun 1600-an hingga tahun 1800-an.
"Ada 2 kerajaan yang tertimbun. (Kerajaan) Tambora dan Pekat. Setelah dicari-cari memang begitu, habis orang Tambora dan Pekat. Berapa ribu yang mati," kata putri keturunan terakhir Sultan Bima, Sultan Muhammad Salahuddin, Siti Maryam Salahuddin saat ditemui di rumahnya, Jl Gajah Mada 1, Kota Bima, NTB, Jumat (10/4/2015).

Kitab kuno Bima, Bo Sangaji Kai (Foto: Nur Khafifah/detikcom)
Menurut perempuan yang kerap disapa dengan sebutan Ina Kau Mary ini, tak banyak yang diceritakan di naskah Bo Sangaji Kai tentang Kerajaan Tambora. Sebab setelah itu kerajaan tersebut benar-benar hangus.
"Waktu itu kan terhapus. Kita sudah tidak tahu lagi," ujarnya.
Namun ada sekelumit cerita soal kerajaan tersebut. Menurut Maryam, pada saat itu ada sebuah kawasan di sekitar Gunung Tambora yang kosong, yaitu Namamiru. Tanah itu kemudian dibagi menjadi 2 wilayah. Sebelah utara menjadi wilayah Sanggar, sementara sebelah selatan wilayah Dompu.
"Wilayah yang masuk Sanggar, itu bagian dari Tambora. Saat ini menjadi Kecamatan Tambora, masuk dalam kawasan Kabupaten Bima," ujarnya.
Maryam mengaku belum banyak meneliti soal Kerajaan Tambora. Ia menduga, Tambora masih memiliki hubungan dengan Bima.

Siti Maryam Salahuddin, putri Sultan Bima terakhir, Sultan Muhammad Salahuddin (Foto: Nur Khafifah/detikcom)
"Tapi ada peneliti asing yang bilang, nama Tambora mirip dengan bahasa Vietnam," kata doktor dalam bidang filologi Sastra Universitas Padjajaran ini ini.
Dia menambahkan, sebetulnya masih ada peninggalan Kerajaan Tambora yang tersisa, seperti puing-puing dan artefak. Namun banyak sisa-sisa peninggalan kerajaan tersebut yang diambil oleh para arkeolog dan belum dikembalikan.
"Sampai sekarang penelitian-penelitian mereka belum ada hasil," imbuhnya.
Maryam mengaku masih penasaran dengan sejarah Kerajaan Tambora dan Pekat yang hilang. Namun untuk perempuan seusia dirinya, agak sulit jika harus melakukan penelitian langsung ke lokasi yang berjarak sekitar 5 jam dari tempat tinggalnya itu.
"Tapi saya ingin ke sana juga. Saya mau cari kepala desa atau orang tua di sana barangkali tahu sejarah Tambora dan Pekat," tutupnya.
(kff/nwk)