Lembaga Kajian dan advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) menjelaskan, konflik antara MA dan KY ini disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum yang mengatur tentang seleksi hakim tingkat pertama.
"Ini bentuk karena tidak adanya UU yang mengatur tegas tentang seleksi hakim. Akhirnya konflik seperti ini, dua lembaga MA dan KY mengaku punya otoritas masing-masing," ujar peneliti LeIP, Asriel, usai diskusi di Bakoel Coffe, Jl Cikini Raya, Jakarta, Kamis (9/4/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apakah ada yang mengatur siapa yang berhak menentukan jumlah formasi hakim yang dibutuhkan?" ujarnya mencontohkan.
Sejauh ini peran KY diberi kewenangan untuk menyeleksi hakim agung oleh UUD 1945. Sedangkan untuk hakim tingkat pertama diatur di UU.
"Makanya pemerintah dan DPR harus merevisi UU Kekuasaan Kehakiman supaya konflik ini tidak terjadi lagi. Kalau tidak ada mekanisme yang mengatur ya bakal kacau terus," ujarnya.
Para hakim agung yang menggugat ke MK itu adalah hakim agung Imam Soebchi, hakim agung Suhadi, hakim agung Prof Dr Abdul Manan, hakim agung Yulis dan hakim agung Burhan Dahlan.
"Kita ini lembaga penguasa kehakiman. Jadi kita ini malah dijamin UUD 1945 dalam pengawasan para hakim," ucap Suhadi.
Toh, tidak semua hakim agung setuju dengan 'pengkerdilan' KY itu. Hakim agung Prof Dr Gayus Lumbuun memilih berseberangan dan menyatakan gugatan ini tidak tepat.
"Mempersoalkan KY dalam ikut menseleksi calon hakim bukan domain Ikahi sebagai organisasi hakim melainkan domain MA di samping adanya indikasi menolak unsur pengawasan oleh KY," kata Gayus.
(rvk/asp)