"Awal pertemuan di kantor bank awal Januari tahun 2014," kata kuasa hukum Ina, Dian Farizka, usai sidang di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Selasa (7/4/2015).
Saat itu MH sedang mengajukan utang ke bank dan Ina lalu melayani MH. Dari hubungan profesional itu lalu MH melancarkan jurus maut menggoda Ina, padahal MH sudah beristri. Mulut manis dan janji MH untuk menikahi Ina membuat Ina bertekuk lutut. Mereka pernah pacaran hingga Singapura, Jakarta dan Malaysia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungan antara nasabah-pegawai bank itu lalu berakhir di ranjang. Hasilnya, Ina mengandung anak hasil pembuahan MH. Tapi apa lacur, MH tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Adapun Ina dipecat dari tempatnya bekerja.
"Anaknya baru lahir 12 Februari 2015. Usianya 2 bulan dan dirawat di keluarganya di Lampung," cerita Dian.
Yang lebih memprihatinkan, Ina melahirkan tanpa ditemani MH. Padahal, MH merupakan sosok hakim yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas sebagai wujud tertinggi perwakilan Tuhan di muka bumi.
"Bahkan datang saat Ina melahirkan pun nggak. Setidaknya berikan support lah saat melahirkan," ujar Dian.
Atas derita yang ia alami, Ina lalu melaporkan ke MA dan ke KY. Namun, MA hanya menskorsing MH sedangkan KY merekomendasikan pemecatan. Apa dikata, MA mengacuhkan rekomendasi KY dan hanya menskorsing MH.
Alhasil, Ina lalu menggugat pengawasan internal Mahkamah Agung (MA) yang dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan tegas bahwa KY-lah yang berwenang mengawasi hakim. Pasal 24 B ayat 1 itu berbunyi:
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tidak disebutkan dalam Pasal 24B ayat 1 itu kewenangan MA mengawasi para hakim. Kasus ini masih bergulir di MK.
(asp/rvk)