Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) punya kesatuan sendiri untuk memberantas pelaku illegal unreported unregulated (IUU) fishing. Mereka adalah para kapal pengawas yang tergabung di Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Bagaimana kisah mereka?
Bersama tim Satgas IUU Fishing, detikcom mengikuti perjalanan salah satu kapal pengawas bernama Hiu Macan 04 dari Pelabuhan Dobo, Kepulauan Aru, Maluku, hingga Benjina lalu berlanjut ke Pelabuhan Penambulai Warabai. Dari Dobo, butuh waktu perjalanan sekitar 3 jam ke Benjina. Sementara dari Benjina ke Penambulai butuh sekitar 12 jam.
Sepanjang perjalanan, para personel di kapal tersebut berkisah soal kehidupan mereka, termasuk saat memburu para pencuri ikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapten M Ardi sebagai pemimpin di kapal bercerita, tugas mereka saat ini adalah memeriksa kapal-kapal yang beroperasi di sekitar perairan timur Indonesia, mulai laut Arafura, Kepulauan Aru hingga perairan Papua. Mereka harus memeriksa kelengkapan dokumen, kesesuaian data ABK, hingga alat tangkap dan lain-lainnya. Bila ada yang tidak sesuai, maka kapal pencari ikan itu akan diproses hukum.
Dalam praktiknya, ternyata pemeriksaan itu tidak mudah. Kadang, Ardi dan jajarannya mendapat perlawanan dari para pencuri ikan. Tak sedikit juga yang berusaha melarikan diri. Namun sejauh ini, semua masih terkendali.
"Kalau di Timur ini lebih banyak yang kooperatif. Kalau di barat, baru saya sering menemukan yang melawan. Pernah waktu itu saya berusaha mengejar kapal asing, sampai keluar 450 butir peluru. Cukup menaikkan adrenalin sih," cerita Ardi kepada detikcom, Kamis (2/4/2015).
Para personel kapal pengawas memang dilengkapi senjata laras panjang. Bahkan ada satu senjata berat kaliber 12.7 pinjaman dari TNI AL yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman-ancaman dari pencuri ikan.
Ardi yang sudah bekerja selama 10 tahun di kapal pengawas ini menegaskan, semenjak pemberlakuan moratorium dari Menteri KKP Susi Pudjiastuti, pencurian ikan di kawasan timur Indonesia mulai berkurang. Bahkan dia kini jarang melihat kapal-kapal beroperasi di kawasan ground fishing (lokasi penangkapan ikan).
"Sekarang nyari satu kapal saja buat diperiksa susah selama moratorium ini. Kalau dulu memang banyak," terangnya.
Dia juga melihat ada perubahan signifikan dari hasil tangkapan nelayan kecil. Dari hasil dialog Ardi dengan sejumlah nelayan, ada satu kawasan di dekat Arafura, yang biasanya nelayan tidak mendapat ikan, kini malah berlimpah. "Bahkan saya dengar mereka jaringnya sampai jebol karena ikannya kebanyakan. Biasanya tidak ada, sekarang dapat 3 ton sampai 7 ton," imbuhnya.
Suryadi, kepala kamar mesin di Hiu Macan 04 punya cerita berbeda. Sebelum jadi pengawas, dia pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta di Papua yang ternyata melakukan praktik illega fishing. Modusnya, kata Suryadi, kapal-kapal tersebut membawa ikan ke dalam kapal pengangkut, lalu dibawa ke luar negeri tanpa surat-surat dan pengawasan yang jelas.
Setelah setahun bekerja di perusahaan tersebut, Suryadi akhirnya mengundurkan diri. Dia lalu mendftar ke KKP hingga akhirnya jadi pengawas. Kini, pengalamannya bekerja di perusahaan 'nakal' tadi jadi pengalaman berharga untuk menangkap pelaku illegal fishing.
Bahkan, dalam suatu operasi, dia dan jajarannya pada tahun 2004-2005 berhasil menangkap dua kapal besar yang melakukan illegal transhipment.
"Waktu itu mereka didenda Rp 2,5 M," cerita ayah tiga anak ini.
Beberapa ABK lain bercerita, perlawanan para pencuri ikan bisa dengan berbagai cara. Ada yang berusaha mengebom petugas, hingga menebarkan jala. Tujuannya, agar kapal-kapal para pengawas ini terhambat jalurnya hingga tak bisa lagi mengejar.
(mad/fdn)