"Tidak baik kalau kita membuat, melegitimasi, membenarkan adanya pemberhentian di tengah jalan. Karena kita demokrasinya sedang tumbuh, tidak baik itu," kata Jimly usai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (1/4/2015).
"Kalau pejabat eksekutif, legislatif ini tidak bisa kompak, walaupun populer dari luar, yang luar itu untuk lima tahun sekali diperlukan dukungannya, sedangkan dukungan day to day politic yang di internal, anda tidak akan efektif memimpin (jika tidak kompak)," jelas Jimly.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cuma bagaimana kalau si pejabatnya ini memusuhi semua orang. Ya salah sendiri. Jadi semua orang sudah memberi nasihat supaya Ahok memperbaiki komunikasi. Komunikasi itu kan bukan soal keras atau kasar, tapi soal efektifitas. Efektif tidak? Jadi jangan menggalang dukungan ke luar, tapi di dalam sedikit yang dukung. Sehingga birokrasi bernegara tidak efektif dalam menggerakkan roda birokrasi," jelas Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini.
Tapi, apakah etika bisa dijadikan alasan untuk memakzulkan Ahok?
"Kalau di UU-nya, saya tidak tahu, ada nggak ya untuk Pemda. Kalau Presiden ada, perbuatan tidak tercela. Kalau Pemda mungkin ada juga. Kalau bertentangan dengan Tap MPR sudah jelas, tapi Tap MPR kan ketinggian, jadi harus dijabarkan di UU kita. Akhirnya yang menentukan mayoritas suara. Itukan etika atau pelanggaran hukum, hanya alasan," jelas Jimly.
"Tapi semua orang sudah memberi saran kepada Ahok. Cuma ini kan soal perilaku kepemimpinan. Kita tidak bisa mencampuri. Tidak sehat kita kalau memberi pembenaran bahwa pemerintah itu bisa diberhentikan hanya gara-gara minoritas suara di DPRD. Maka sebaiknya jangan. Tapi dia (Ahok) harus memperbaiki diri," tambah Jimly.
(jor/fjp)