"Komnas HAM menyampaikan keprihatinan, jika benar, ada tindakan pemblokiran oleh organ negara terhadap situs-situs yang mereka sebut sebagai diduga radikal," ujar komisioner Komnas HAM Maneger Nasution dalam pernyataanya, Selasa (31/3/2015).
Menurut Maneger, seharusnya pemerintah bijak dalam menangani situs-situs itu. Pemblokiran situs-situs itu oleh Kominfo, kata Maneger, merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berekspresi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seharusnya, kata Maneger, sekiranya ada yang diduga keliru, seharusnya diberikan pemberitahuan atau peringatan atau bahkan disomasi, dan dengan kriteria yang jelas apa yang dimaksud dengan berpikir radikal yang dilarang oleh BNPT.
"Sekarang saatnya bangsa ini mengedepankan dialog, bukan main kekuasaan, merasa benar sendiri dan membunuh pemikiran yang berbeda. Tugas pemerintah adalah mendidik masyarakat, bukan menebar permusuhan kepada kelompok yang berbeda pemikiran," ujarnya.
"Sebagai komisioner Komnas HAM, saya mengimbau pemerintah sebaiknya mengundang pengelola situs-situs yang diblokir itu, diajak dialog, bukan membunuh hak-hak dasar warga negara untuk berpikir dan berekspresi, seperti yang dijamin oleh konstitusi negara UUD 1945 dan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM," sambung Maneger.
Selain itu, Komnas HAM juga mengingatkan bahwa tindakan pembredelan itu diduga, di samping melanggar konstitusi dan UU HAM, juga melanggar UU Nomir 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution saat dikonfirmasi membenarkan pihaknya tidak memanggil 22 pemilik/pemimpin situs sebelum memblokir. Dia berdalih, alamat pemilik 22 situs tersebut tak diketahui. "Kami tidak tahu di mana posisinya (pemilik situs)," kata Saud saat berbincang dengan detikcom, Selasa (23/3/2015).
(fjp/nrl)