KMSSAJ selama kurang lebih 3 tahun ini berjuang agar Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara pemerintah dengan 2 perusahaan asing, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra. PKS tersebut dibuat di era Presiden Soeharto dan ditandatangani oleh Direktur PDAM Provinsi DKI Jakarta dengan 2 perusahaan asing itu pada 6 Juni 1997 dan telah mengalami beberapa kali perubahan.
Perjanjian tersebut berisi menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. PKS itu pun diperkuat oleh Surat Keputusan Gubernur DKI No 3126/072 dan Surat Keputusan Menkeu No 4684/MK01 di tahun yang sama.
"Menyatakan PKS yang dibuat dan ditandangani Direktur PDAM DKI dan Palyja, 6 Juli 1997, 28 Januari 1998 , 22 Oktober 2001 dan seluruh addendumnya batal dan tak berlaku. Menyatakan PKS yang dibuat Direktur PDAM dengan PT Aetra, 6 Juli 1997, 28 Januari 1998, 22 Oktober 2001 beserta seluruh anddendumnya batal dan tak berlaku," demikian keputusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Iim Nurokhim di PN Jakpus, Jl Gadjah Mada, Jakpus, Selasa (24/3/2015).
Adapun KMSSAJ menggugat 14 pihak yakni Presiden RI, Wapres RI, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Gubernur DKI Jakarta, DPRD, dan PDAM. Serta turut tergugat PT Palyja dan PT Aetra. PN Jakpus pun menyatakan tergugat melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air DKI kepada pihak swasta.
"Menyatakan para tergugat lalai dalam pemberian dan pemenuhan hak asasi manusia atas warga negaranya, khususnya warga DKI. Tergugat telah merugikan pemerintah DKI dan warga DKI," tambah Iim.
Selain itu Hakim juga memerintahkan agar SK Gubernur DKI dan SK Menkeu terkait penyerahan kewenangan mengelola air di DKI dicabut. Para tergugat juga diwakibakan untuk membayar biaya perkara.
"Demikian diputuskan oleh majelis tertanggal, Jumat 20 Februari 2015," tegas Iim kemudian mengetuk palunya.
Dalam keputusan yang dibuat itu, hakim membacakan berbagai pertimbangan yang didukung dari keterangan saksi dan ahli. Seperti bagaimana selama pengelolaan air di bawah Palyja dan Aetra, dari data BPK, dari tahun 1997 hingga saat ini negara dirugikan hingga mencapai Rp 1,2 triliun.
Selain itu, dalam pelayanannya selama ini, Palyja dan Aetra disebut gagal memenuhi kewajiban atas air karena kualitas yang tidak bagus. PKS juga dikatakan hakim melanggar Perda DKI Jakarta No 13 tahun 1993 tentang Fungsi Pam Jaya di mana dengan adanya perjanjian itu, PDAM jadi tidak bisa memenuhi kewajiban air minum.
Hakim juga menyatakan PKS melanggar konstitusi di mana seperti tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945, air seharusnya dikuasi oleh negara. Mendapati keputusan itu, para warga Jakarta sebagai penggugat berteriak bahagia sambil bertepuk tangan. Beberapa bahkan meneteskan air mata.
"Tidak mudah untuk memenangkan hari ini. Air adalah hak asasi kita semua, hari ini kita buktikan perjuangan tidak berhenti. Kita kawal PDAM. Pesan untuk Gubernur DKI, secepatnya mengambil alih pengelolaan air mulai malam ini. Karena dengan putusan hari ini, Gubernur tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk akuisisi," tukas salah seorang penggugat, Nur Hidayah usai persidangan.
Sementara itu kuasa hukum para penggugat, Arif Maulana mengaku hari ini adalah hari bersejarah bagi Indonesia. Ia pun mengapresiasi Hakim PN Jakpus.
"Kita tahu tadi hakim mengabulkan hampir seluruh gugatan, yang paling pokok hari ini adalah hari bersejarah bagi Indonesia, bagi Jakarta. Kita merdeka dari penjajahan air, penjajahan asing. PN Jakpus telah menyatakan kerjasama antara Pam Jaya dan Palyja dan Aetra dibatalkan, artinya tidak berlaku lagi," ucap Arif dalam kesempatan yang sama.
(ear/rvk)