Sepeninggal Inggris yang telah lebih dari 140 tahun menguasainya, Singapura diyakini tak akan mampu hidup mandiri. Selain luas wilayah terlalu kecil (cuma 640 km persegi), sumber daya alam pun nyaris nihil. Bergabung dengan negara federal Malaysia pada September 1963 lantas menjadi solusi terbaik.
Lee dan teman-teman separtainya berharap keputusan itu dapat memangkas pengangguran, mendapat sokongan sumber daya alam, serta membantu memblokade komunis. Tapi ternyata upaya merger kedua bangsa itu hanya bertahan dua tahun akibat perbedaan ideologi dan buruknya hubungan partai yang berkuasa di Malaysia, UMNO (United Malays National Organisation), dan People’s Action Party yang dibentuk Lee pada 1954.
“Bagi saya, ini adalah momen yang pedih. Semula saya berkeyakinan penyatuan antara Singapura dan Malaysia merupakan jalan terbaik. Tapi hari ini saya harus menyatakan bahwa Singapura menjadi negara berdaulat yang mandiri,” kata Lee pada 9 Agustus 1965 seperti dikutip dari Majalah Detik edisi 171.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sadar bahwa kekayaan yang dimiliki cuma penduduk, Lee membujuk parlemen untuk menginvestasikan anggaran negara lebih besar bagi lembaga pendidikan. Reputasi institusi pendidikan dengan akreditasi internasional memberikan kredibilitas pada tenaga kerja Singapura dan menarik bagi perusahaan asing untuk merekrut. Arus masuk investasi luar negeri membuat Singapura mampu mengatasi masalah ekonomi dan pengangguran.
Agar bisa berkonsentrasi melakukan pembangunan di bidang ekonomi, Lee menjalankan kebijakan tangan besi di bidang politik. Unsur-unsur oposisi berhaluan kiri dan tak loyal disingkirkannya. Ia tak peduli meski media barat banyak yang mengecam kebijakannya itu. Lee menggandeng Israel untuk melatih angkatan bersenjata yang solid menyikapi setiap potensi gangguan keamanan. Bagi Lee, stabilitas politik dan sosial adalah kunci untuk menggapai kemakmuran rakyatnya.
Dalam pembangunan ekonomi, Lee menggandeng Dr. Albert Winsemius sebagai penasihatnya. Ekonom Belanda itu pernah memimpin tim United Nations Development Programme (UNDP) untuk memberi nasihat mengenai industrialisasi Singapura pada Oktober 1960. Winsemius antara lain merekomendasikan agar Singapura bergabung dengan Malaysia, memerangi komunisme, tidak memindahkan patung Sir Stamford Raffles, membangun pelabuhan dan bandara terbaik, menjadikan Singapura sebagai pusat pasar uang, dan membantu membujuk para investor Belanda untuk berinvestasi di Singapura.
Tentang patung Raffles, Lee mengaku sempat bimbang. Tapi akhirnya ia menerima karena pendiri Singapura modern itu menjadi simbol diterimanya warisan Inggris, dan itu secara psikologis berdampak positif. “Kalau Raffles tidak datang pada 1819 dan mendirikan gardu perdagangan, leluhur saya dari Dapu, Provinsi Guangdong, Cina, tidak bermigrasi ke tempat ini,” tulis Lee yang lahir di Singapura 16 September 1923. Ia mendapat gelar sarjana hukum dari Cambridge University, Inggris pada 1950.
Untuk menghormati jasa-jasa Winsemius yang bertugas hingga 1984, Lee mengabadikan namanya di Nanyang Technological University pada 1997 dan menjadi nama jalan di bagian barat Singapura.
(erd/nrl)