"Saya tak terima dengan keputusan presiden terhadap pembunuh suami dan anak saya. Suami saya dibunuh saat salat Subuh secara biadab. Pelakunya adalah Dwi, Andi dan Candra. Mereka sudah merencanakan secara matang," kata Sulastri kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (16/3/2015).
Sulastri yang didampingi adik iparnya, Musniza (43) dan anaknya Riyan Rahmad (21), menyatakan mengetahui adanya pengampunan dari presiden itu dari anaknya Riyan Rahmat (21) yang masih duduk di bangku kuliah. Dengan grasi ini, maka hukuman mati yang dijatuhkan hakim diubah jadi penjara seumur hidup.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sulastri mengaku tidak habis pikir apa pertimbangan Presiden Jokowi memberikan grasi dari hukuman mati menjadi seumur hidup. Kalau alasan pengajuan grasi bahwa Dwi mengaku bertobat dan istrinya lagi hamil, bagi Sulastri itu tidak masuk akal.
"Jangan lihat satu sisi saja. Mestinya Pak Jokowi juga melihat kondisi saya. Suami dan anak saya dibunuh secara keji dan biadab. Kini saya hidup dengan satu-satunya lagi anak saya. Ekonomi kami morat-marit sejak suami saya dibunuh," kata Sulastri yang pensiunan PNS guru SD itu.
Sedangkan Musniza, adik kandung Agusni Bahar, korban yang dibunuh Dwi mengatakan, bahwa keputusan grasi tersebut telah menyakiti hati keluarga mereka.
"Kalau saja presiden tahu, bagaimana mereka menghabisi nyawa abang saya, pasti tidak akan diberi grasi. Kami minta Pak Jokowi dapat meninjau ulang apa yang telah dia putuskan itu," kata Musniza.
Kasus pembunuhan itu terjadi pada 16 April 2012. Korbannya adalah Agusni Bahar dan anaknya Dodi Haryanto pemilik toko ponsel di Jalan Kaharudin Nasution, Pekanbaru. Ketiga pelaku sudah berencana akan menguras harta milik korban. Subuh itu ketiganya masuk dalam ruko. Mereka ke lantai dua dan melihat pemilik ruko lagi salat. Korban dipukul dengan balok dan dibacok hingga tewas. Anak korban yang coba membantu ayahnya, juga dibacok hingga tewas.
(cha/rul)