"Semoga kejadian robohnya hanggar pesawat di Bandara Hasanudin itu menjadi 'alarm bangun tidur' bagi pemerintah agar segera menuntaskan regulasi terkait pekerjaan konstruksi baik UU no 18/1999 tentang Jasa Konstruksi maupun UU No 11/2014 tentang Keinsyinyuran," kata Sekretaris Jenderal Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Prof. Dr. Ir. Danang Parikesit dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis (12/3/2015).
Menurut Danang, peristiwa robohnya hanggar dan ambruknya Jembatan Kutai Kartanegara beberapa waktu lalu, tidak hanya dapat dilihat dari aspek pidana, tetapi juga secara regulasi berdasarkan kedua Undang-undang itu. Para penyedia jasa konstruksi, pelaksananya dan para insinyur dapat diminta pertanggungjawaban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Danang menuturkan bahwa kerja panel ahli dalam konteks kedua regulasi tadi mirip dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam dunia transportasi di Indonesia. Tugas panel ahli ini bukan untuk mencari siapa yang salah atau benar, tapi memetakan kronologi peristiwa, analisa sesuai kode etik profesi serta kaidah konstruksi.
"Jadi, hasil laporan panel ahli tadi independen. Polisi pun bisa menggunakan hasil laporan independen panel ahli tersebut," tutur Danang.
Sesuai UU No 18 tentang Jasa Konstruksi Pasal 43, perencana konstruksi yang gagal tersebut bisa dipidana lima tahun atau denda maksimal 10 persen dari nilai kontrak, sedangkan pelaksana yang antara lain melibatkan para insinyur dapat dikenakan lima tahun penjara atau denda maksimal lima persen dari nilai kontrak. Untuk pengawasnya, pidana paling lama lima tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10 persen dari nilai kontrak.
Kemudian, sesuai UU No 11/2014 tentang Keinsinyuran, pasal UU 51 menyebutkan, para insinyur atau insinyur asing yang melaksanakan tugas profesi tidak memenuhi standar keinsinyuran sehingga mengakibatkan kecelakaan, cacat, hilangnya nyawa seseorang, kegagalan pekerjaan keinsinyuran, dan/atau hilangnya harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.
Oleh karena itu, sambung Danang, PII mendesak agar pemerintah segara mengeluarkan regulasi pendukung dari UU itu antara lain Perpres tentang Dewan Insinyur Indonesia. Dewan ini antara lain bertugas merumuskan regulasi pendukung demi terwujudnya insinyur Indonesia yang berkualitas global.
"Sesuai amanat UU No 11/2014, harusnya setahun sejak diundangkan, sudah ada Perpres atau regulasi lainnya yang sudah diterbitkan," tutupnya.
(imk/jor)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini