"Kami dalam mengambil keputusan itu betul-betul berdasarkan undang-undang parpol. Sedikitpun kami tidak berpikir tentang politisasi dari keputusan Kemenkum HAM tentang Golkar," kata Yasonna di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (12/3/2015).
Yasonna lalu menjelaskan alasannya mengakui kepengurusan Agung Laksono. Dimulai dengan surat tanggal 15 Desember 2014 tentang keputusan atas dua hasil munas yang berbeda. Saat itu Menkum HAM menolak mengesahkan salah satu kubu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu digelarlah sidang Mahkamah Partai yang dipimpin 4 arbitrase. Mereka lalu mengambil keputusan atas dualisme kepengurusan di Golkar. Hasilnya, dua hakim mengesahkan kubu agung Laksono dan dua lain tak mengesahkan salah satu kubu.
"Empat pandangannya sama, jangan sampai terjadi the winner takes all. Maksudnya, kalau disahkan satu, semua kepengurusan hasil Bali misalnya, atau kepengurusan hasil Ancol, itu ndak (membentuk kepengurusan sendiri)," ujarnya.
"Kemudian ada pandangan dari Djasri Marin dan Andi Matallatta dengan uraian soal Munas Bali dan Ancol. Kemudian membuat amar keputusan. Dalam amar keputusan itu mengakui Munas ancol. Itu jelas, tapi dengan prasyarat," imbuh mantan anggota Komisi II DPR itu.
Prasyarat itu antara lain mengakomodasi kepengurusan DPP Golkar versi Bali. Prasyarat itu adalah usulan Prof Muladi. Sehingga Yasonna meyakini Munas Ancol yang disahkan Mahkamah.
"Saya dalam mengambil keputusan itu mengundang pakar, tim ahli saya di kementerian saya. Ini lama, nggak ada preferensi buat saya di situ (politis -red)," tegas Yasonna.
"Saya sebagai Menkum HAM one hundred percent (100%). Saya melakukan keputusan itu berdasarkan UU Parpol Pasal 32 dari 1 sampai 5," imbuhnya.
(iqb/trq)