"Yang benar yang Purwokerto. Sesuai asas hukum, penetapan tersangka bukan objek praperadilan," kata guru besar Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof Dr Hibnu Nugroho kepada detikcom, Selasa (10/3/2015).
Berdasarkan Pasal 77 KUHAP, objek praperadilan sudah dibatasi hanya 5 point. Tetapi dalam putusan Sarpin, ia menambahkan point keenam yaitu penetapan tersangka. Atas dasar itu, Sarpin mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan dan menyatakan penetapan tersangka Komjen BG tidak sah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"KUHAP nggak bisa ditafsirkan karena objeknya sudah jelas," ujar pakar hukum pidana itu.
Atas perbedaan putusan ini, MA harus turun tangan untuk memberikan tafsir tunggal sehingga tidak memunculkan kerancuan hukum. Apakah penetapan tersangka bagian dari objek praperadilan atau bukan.
"Apapun produk hukumnya, MA harus turun tangan. Dia yang paling bertanggung jawab terhadap apa-apa yang terjadi dengan pengadilan di bawahnya," pungkas Hibnu.
Mendapati putusan Kristanto, polisi menyambut baik vonis tersebut. Tim advokasi Polda Jateng AKBP Jalal di kasus Mukti Ali menganggap putusan hakim Sarpin merupakan keputusan yang sesat.
"Hakim lain-lain ya. Makanya di jawaban ada penafsiran-penafsiran yang keliru. Menurut saya ya penafsiran sesat. Jadi hukum formil itu tidak bisa disalah tafsirkan, makanya penyimpangan," kata AKBP Jalal kepada wartawan usai sidang di PN Purwokerto, Selasa (10/3/2015).
Lantas, siapakah yang benar, Sarpin atau Kristanto?
(asp/try)











































