"Hukuman mati adalah hukuman pidana yang sangat serius di negara manapun dan level hukum apapun. Di negara Islam hampir semuanya masih menerapkan hukuman mati, karena itu merupakan hukum alternatif tertinggi termasuk di negara kita" ujar Gatot Abdullah Masnyur, mantan Dubes RI untuk Arab Saudi dalam pengajian bulanan di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakpus, Jumat (6/3/2015).
Tak hanya ada di dalam UUD, penerapan hukuman mati ternyata telah ada sejak zaman Belanda hingga akhirnya menjadi rujukan dalan KUHP. Hukum adat Indonesia sejak lama juga telah mengenal adanya hukuman mati terhadap masyarakatnya yang melakukan pelanggaran hukum berat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara hukum positif, ada 8 ayat KUHP yang menerapkan hukuman mati, ada pasal 104 tentang makar terhadap presiden dan wapres, pasal 111 ayat 2, pasal 124 ayat 3, pasal 140, pasal 365, 444 dan lainnya. βCuma ini merupakan ancaman alternatif, bukan final. Dan ini juga menurut UU kita itu tidak melanggar HAM dan ini sudah di perkuat dengan keputusan MK saat judicial review," kata dia.
Menurut dia, hukuman mati sebagai alternatif diambil dalam rangka menerapkan hukuman yang setimpal berdasarkan keadilan dan yang memiliki otoritas adalah hakim. Apabila di tingkat pertama seseorang dihukum 20 tahun, di tingkat banding dapat menjadi hukuman seumur hidup, bahkan ketika telah sampai di tingkat MA bisa dikenai hukuman mati, ataupun sebaliknya. Semua, menurut Gatot tergantung subjektivitas hakim yang dilindungi oleh UU.
"Mengenai permasalahan yang katanya hukuman mati melanggar HAM dan ada yang bilang nyawa itu urusan Tuhan, orang yang berpikiran semacam itu, menurut saya tidak mempertimbangkan apa yang sudah dilakukan oleh terpidana mati tersebut. Justru itu adalah pelanggaran HAM yang diperbolehkan hukum," tukasnya.
(rni/rvk)