Kasus bermula saat TAS menikah pada medio 1940-an dan dari perkawinan itu, lahir 12 anak, dua di antaranya bernama Aji dan Selamet. Untuk menghidupi keluarganya, TAS membangun toko kelontong. Karena TAS dan istrinya belum berkewarganegaraan Indonesia, maka TAS memakai nama anak ketujuhnya yang telah berkewarganegaraan Indonesia, Selamet dan mengganti nama tokonya menjadi UD Selamet guna memudahkan perizinan.
Setelah itu, toko diurus bersama-sama oleh keluarga itu dan menjadi bisnis yang maju dengan pengembangan asset seperti tanah di beberapa tempat, gudang, sarang burng walet, emas 10 kg serta simpanan uang USD 50 ribu. Dalam perjalanannya, kepengurusan harta di dalam keluarga ini terjadi silang sengketa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 23 Oktober 2012, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menyatakan Selamet melakukan tindak pidana penggelapan dalam lingkungan keluarga dan menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara. Vonis ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya pada 31 Desember 2012 dan kasasi pada 30 April 2013.
Atas dasar itu, Selamet lalu mengajukan peninjauan kembali (PK) dengan alasan belum ada putusan pengadilan yang menetapkan siapa pemilik sah objek sengketa, yaitu harta yang diambil Selamet. Sehingga Selamet menyatakan kasus ini adalah kasus perdata, bukan kasus pidana. Tapi MA bergeming.
"Menolak permohonan peninjauan kembali (PK)," putus majelis sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Minggu (1/3/2015).
Duduk sebagai ketua majelis Sofyan Sitompul, Margono dan Eddy Army. Fakta pengadilan menyatakan Selamet telah mengambil alih uang tanpa persetujuan ahli waris untuk kepentingan sendiri berupa uang sewa rumah dan ruko serta emas 7,4 kg.
(asp/try)