"Semua bermula dari pertanyaan apakah perbuatan terdakwa itu jahat atau tidak sih?" kata salah satu anggota majelis Syamsul Arief kepada detikcom, Minggu (1/3/2015).
Sambil menunggu penerbangan ke Singapura untuk mengikuti workshop hukum persaingan usaha se-Asia, Syamsul menceritakan pergulatan pemikiran majelis hakim dalam memutus perkara itu. Fakta bahwa Briptu MJZ meninggalkan korban di rumah sakit karena mengalami pendarahan usai disetubuhi, membuat sifat jahat Briptu MJZ semakin terlihat. Briptu sebulan setelah itu menghilang tanpa pertanggungjawaban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa tidak jahat orang yang seperti ini? Bagaimana jika yang menjadi korban adalah keluarga kita sendiri? Apakah kita akan membiarkannnya?" ucap alumnus FH Universitas Lampung (Unila) angkatan 1994 itu.
Berpangkal dari kegelisahan hukum itu, majelis lalu meluaskan makna 'kekerasan atau ancaman kekerasan' dalam pasal 285 KUHP tentang Pemerkosaan. Pasal ini berbunyi:
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Putusan ayah 4 anak itu mengingatkan kepada kepada hakim legendaris Bismar Siregar saat menjadi hakim di PN Jakarta Timur pada medio 80-an. Ia pernah membuat geger karena lelaki playboy yang merenggut keperawanan korban ia kenai pasal pencurian. Bismar mengibaratkan keperawanan dengan barang dan pelaku telah mencuri keperawanan korban. Putusan Bismar lalu dianulir oleh Mahkamah Agung.
Tidak mau terulang dengan nasib Bismar, Syamsul tetap menggunakan Pasal Pemerkosaan terhadap pelaku. Bedanya, di tangan Syamsul, ia menafsirkan 'kekerasan' tidak hanya melulu tindakan fisik tapi juga bujuk rayu dan janji-janji gombal. (Baca: 7 Fakta Polisi Playboy yang Dibui 5 Tahun dengan Pasal Perkosaan) Penemuan hukum (rechtsvinding) ini bukan datang dalam waktu sepekan atau sebulan, tapi merupakan hasil perjalanan spiritual dan pergulatan batin Syamsul yang cukup panjang.
"Saya lahir dari keluarga NU tulen," ujar Syamsul yang mengawali karier sebagai PN Argo Makmur pada 17 Oktober 2002 ini.
Masa kuliahnya ia aktif di HMI dan dunia jurnalistik. Di eranya, majalah kampus FH Unila, Saksi Keadilan, diberedel oleh pemerintah karena menurunkan liputan khusus tentang Golkar. Saat itu, pemberedelan tidak hanya kepada media massa profesional, tetapi hingga media kampus. Adapun naluri investigasinya, ia asah di LBH kampus. Selepas kuliah pada 1998, ia aktif di LBH Bandar Lampung dan dilanjutkan menjadi wartawan di Jakarta.
"Teori tentang perempuan itu sudah tuntas saat kuliah, teori-teori pemberdayaan perempuan, feminisme, sosiologi, filsafat hukum. Putusan kemarin bukan serta merta ada dan dibuat dalam satu atau dua pekan," ujar Syamsul.
Seperti Madilog-nya Tan Malaka, Das Kapital-nya Karl Marx, sosilogi modern-nya Emile Durkheim hingga kajian-kajian Islam Nurcholish Madjid. Untuk mengimbanginya, ia juga gemar karya sastra seperti Pramoedya Ananta Toer atau Romo Mangun.
"Jadi penemuan hukum ini merupakan proses panjang. Tidak bisa dipungkiri, perempuan itu hidup dalam perasaan. Ketika ia dilambungkan haru biru cinta, maka tidak ada yang mau menyerahkan keperawanannya karena bukan perasaan. Ketika perempuan dibujuk, diberikan janji bohong, didesak, dicumbu lalu masuk dalam perangkap asmara. Tapi dalam kondisi ini, ada kesadaran dengan menanyakan kepada pelaku apakah benar mau menikahinya yang diulang selama 3 kali dan dijawab dengan janji pelaku," ujar penggemar musik-musik rock and roll itu.
Sehari setelah memutus perkara itu, ia dipromosikan menjadi Wakil Ketua PN Tubei, 5 jam perjalanan darat dari Bengkulu. Untuk mengimbangi pekerjannya yang mempunyai tanggung jawab sangat besar, ia sesekali main band sebagai vokalis dan pemain gitar. Selain itu, diving dan snorkiling juga kerap ia lakukan. Saat ini, ia tengah terobsesi dengan olahraga marathon dengan lari 10 KM yang hampir tiap pagi ia lakukan.
"Pingin ikut marathon 42 KM di Jakarta nanti. Olah raga selain membuat sehat badan juga membuat otak segar," kisah Syamsul yang juga kerap naik sepeda ke kantornya.
Putusan ini pun mendapat apresiasi dari Komnas Perempuan dengan meminta putusan itu menjadi yurisprudensi untuk kasus-kasus serupa.
"Putusan PN Bengkulu telah mengakui relasi kuasa sebagai akar masalah kekerasan seksual yang dialami perempuan korban," kata komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati dalam siaran pers pada 16 Februari 2015 lalu.
(asp/try)