Para LSM itu menyatakan sikap di acara Konsolidasi Nasional Gerakan Antikorupsi pada tanggal 26-27 Februari 2015 di Depok. Mereka menyoroti pelemahan KPK, goyahnya sendi-sendi penegakan hukum dan kenegarawanan, serta ancaman terhadap agenda politik pemberantasan korupsi dalam pemerintahan Jokowi dan Kabinet Kerja.
Dalam salah satu poin pertimbangannya, kalangan LSM menyadari bahwa presiden merupakan kepala negara yang bertanggung jawab penuh bagi jalannya pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Jokowi juga berkewajiban menjalankan amanat konsitusi negara Republik Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas dasar itu, koalisi masyarakat sipil menilai KPK layak dibela dan dijaga eksistensinya. Selama ini, lembaga antikorupsi itu berhasil menindak para koruptor dari berbagai latar belakangan. KPK juga berhasil mengembalikan uang negara dan mencegah potensi kerugian negara mencapai Rp 249 triliun.
"Keberhasilan KPK membangun kesadaran kritis warga, mempersempit ruang gerak koruptor, dan menghasilkan agen-agen antikorupsi di berbagai kalangan masyarakat dan pemerintahan," tambahan rilis tersebut.
Namun, belakangan ini, para LSM menilai telah terjadi upaya kriminalisasi terhadap KPK. Arahnya tentu saja pelemahan KPK. Beberapa contoh kasus yang mereka soroti, antara lain:
1. Upaya rekayasa bukti/kasus terhadap komisioner dan para penyidik KPK.
2. Pra-peradilan yang dipaksakan dalam kasus Budi Gunawan.
3. Penghancuran kredibilitas KPK dengan opini di media, media sosial dan rekayasa multimedia.
4. Penunjukan Plt. Pimpinan KPK yang memiliki kualitas yang buruk dalam hal integritas, kredibilitas dan track-record dan berpotensi konflik kepentingan.
5. Rencana penambahan penyidik Polri dan Jaksa Penuntut ke dalam KPK yang diragukan integritas, kredibilitas dan track record-nya.
6. Masuknya kembali Revisi UU KUHP, UU KUHAP dan Revisi UU KPK ke dalam Prolegnas.
7. Hilangnya strategi penguatan KPK dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dengan pertimbangan tersebut, koalisi masyarakat sipil pun mengeluarkan sejumlah tuntutan, seperti berikut:
1. Presiden menarik kembali Keputusan Presiden tentang pemberhentian 2 Komisioner KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang didasari temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI.
2. Presiden memerintahkan Plt. Kapolri untuk melakukan pembenahan besar-besaran di tubuh Kepolisian. Yakni mencopot semua aktor-aktor yang berperan dalam pelumpuhan KPK, terutama dengan menonaktifkan Komjen (Pol) Budi Waseso sebagai Kabareskrim, dan ditindaklanjuti melalui proses hukum sebagaimana temuan Komnas HAM dan Ombudsman RI.
3. Presiden segera menghentikan berbagai tindakan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan stafnya sebagai bukti janji Presiden dalam NAWACITA untuk memperkuat KPK dan memberantas mafia peradilan.
4. KPK harus melanjutkan penanganan kasus BG dan menolak pengalihan ke lembaga penegak hukum lain.
5. PLT Pimpinan KPK wajib menandatangani pakta integritas dan deklarasi bebas konflik kepentingan, baik konflik kepentingan terkait afiliasi politik, pekerjaan, bisnis, keluarga, dan sebagainya, sebelum dan saat menjabat, serta tidak ikut memeriksa atau mengelola kasus yang terkait dengannya di masa lalu.
6. KPK harus melanjutkan penanganan kasus-kasus korupsi penting, seperti rekening gendut Polri, BLBI, Century, kasus korupsi pajak, migas, sumberdaya alam dan korupsi besar lainnya.
"Kami Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi dari Aceh sampai Papua dengan ini menegaskan MENOLAK segala upaya untuk memangkas kewenangan penindakan KPK dan membatasi penanganan korupsi hanya pada pencegahan," tutupnya.
(mad/try)