Eks Dirut Bank DKI Winny Erwindia Divonis 4 Tahun Penjara

Eks Dirut Bank DKI Winny Erwindia Divonis 4 Tahun Penjara

- detikNews
Senin, 16 Feb 2015 20:20 WIB
Ferdinan/detikcom
Jakarta - Eks Direktur Utama PT Bank DKI Winny Erwindia dihukum 4 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsidair 3 bulan kurungan. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan Winny terbukti melakukan korupsi terkait persetujuan kredit pembiayaan pembelian pesawat ATR 42-500 yang diajukan PT Energy Spectrum (PT ES).

"Menyatakan terdakwa Winny Erwindia telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primair Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, " ujar Hakim Ketua Supriyono membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Senin (16/2/2015) malam.

Winny sebagai Dirut Bank DKI kala itu melakukan perbuatan melawan hukum dengan menyetujui pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT ES. Persetujuan ini disampaikan Winny pada rapat 8 Oktober 2007 yang membahas Memorandum Pengusulan Pembiayaan (MPP) atas permohonan yang diajukan Banu Anwari, Direktur PT ES.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal dalam rapat itu disebutkan sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi PT ES untuk mendapatkan suntikan pembiayaan. Syarat yang belum dipenuhi di antaranya izin penyewaan pesawat, kontrak PT ES dengan PT International Air Transport (IAT), kontrak PT IAT dengan Conoco Philips.

Banu Anwari memang mengajukan pembiayaan sebesar USD 9,4 juta ke Bank DKI untuk pengadaan satu pesawat yang akan disewakan kepada PT Conoco Philps melalui PT IAT.

"Terdapat banyak persyaratan yang tidak dipenuhi oleh PT ES dan hal itu diketahui terdakwa, akan tetap terdakwa tetap menyetujui fasilitas pembiayaan," sambung Supriyono.

PT ES juga tidak bergerak di bisnis sewa pesawat ataupun jasa transportasi. PT ES lanjut Majelis Hakim hanya tercatat sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum. "PT ES tidak memiliki pengalaman dalam bidang usaha pembiayaan dan operator pesawat terbang," sambung Hakim.

Berdasarkan rasio modal yang dimiliki PT ES yakni Rp 500 juta, seharusnya perusahaan tersebut mendapat fasilitas pembiayaan maksimal Rp 1,250 miliar dari Bank DKI. Namun PT ES malah mendapat pembiayaan USD 9,4 juta atau setara 88,143 miliar dengan nilai kurs USD pada saat itu.

Karena PT Conoco Philips tak lagi menyewa pesawat dari PT IAT, maka pembayaran atas kredit dari PT Bank DKI --yang 99,83 persen sahamnya dimiliki Pemda DKI--menjadi macet. Hingga bulan April 2011, PT ES baru membayar angsuran pokok dua kali yaitu pada tanggal 28 Februari 2009 sebesar USD 165.820 dan tanggal 29 Januari 2010 sebesar USD 552.851.

"Sehingga utang pokok yang belum dibayarkan sebesar USD 8,681 juta. Dengan demikian uang negara yang dalam hal ini PT Bank DKI berkurang USD 8,681 juta," lanjut Hakim Supriyono menyebut besaran kerugian keuangan negara yang terjadi.

Posisi Winny sebagai Dirut Bank DKI memang ditegaskan Majelis Hakim paling menentukan untuk disetujui tidaknya pengajuan pembiayaan pengadaan pesawat oleh PT ES. "Terdakwa merupakan pelaku yang berperan sebagai pemutus akhir disetujuinya fasilitas pembiayaan PT ES walaupun telah diketahui analisis pembiayaan disusun secara bertentangan dengan ketentuan yang berlaku," tegas Majelis Hakim.

Dalam putusan ini dua hakim anggota yakni Slamet Subagio dan Sofialdi menyatakan beda pendapat (dissenting opinion). Keduanya sepakat menilai perbuatan Winny seharusnya dikenakan dengan Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi bukan Pasal 2 ayat 1 sebagaimana diyakini 3 Hakim lainnya yakni Supriyono, Muh. Muchlis dan Annas Mustaqim.

Hakim Slamet memaparkan beda pendapatnya terkait pencairan dana ke PT ES. Winny menurutnya tidak melakukan pengecekan langsung proses pencairan pembiayaan melainkan memberi tanggungjawab kepada bawahannya.

"Tindakan terdakwa hanya mempercayakan kepada bawahannya adalah sikap kurang hati-hati sehingga terdakwa salah memperkirakan. Salah memperkirakan menurut pendapat kami bukan perbuatan melawan hukum melainkan penyalahgunaan wewenang," ujar Slamet.

(fdn/vid)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads