Sejak pertama kali menerapkan UU TPPU pada kasus Wa Ode Nurhayati, pada 2012 silam, kewenangan penuntutan KPK pada kasus pencucian uang selalu dipermasalahkan. Pengacara tersangka selalu mempersoalkan kewenangan jaksa KPK dalam menuntut TPPU. Begitu juga dengan anggota majelis hakim, ada yang selalu mengajukan dissenting opinion terkait hal itu, meski akhirnya suara mereka kalah lantaran mayoritas anggota majelis pro terhadap jaksa KPK.
Yang jadi poin persoalan adalah, merujuk pada UU TPPU, penuntutan pencucian uang hanya bisa dilakukan oleh jaksa dari kejaksaan. Sedangkan mengacu pada UU KPK, lembaga antikorupsi itu juga memiliki jaksa, yang berasal dari kejaksaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun pada akhirnya, KPK lah yang akhirnya harus berterima kasih kepada Akil. Gugatan Akil ditolak, yang membuat kewenangan penuntutan KPK kini jelas dan terang, tak lagi zona abu-abu untuk dipersoalkan.
"Putusan MK sifatnya final. Tak ada upaya hukum setelahnya. Ini berarti kerja KPK di TPPU tidak melanggar konstitusi. Jadi silakan KPK usut kasus korupsi bersamaan dengan TPPU," ujar peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim, dalam perbincangan, Jumat (13/2/2015).
Dalam putusan yang dibacakan Kamis kemarin, MK memandang TPPU memang tidak berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak bisa dibuktikan terlebih dahulu, maka tidak menjadi halangan untuk mengadili tindak pidana pencucian uang.
βPasal 76 ayat (1), menurut Mahkamah penuntut umum merupakan satu kesatuan, apakah penuntut umum yang bertugas di Kejaksaan RI atau di KPK adalah sama,β demikian MK dalam putusannya.
(fjp/aan)