Misteri Prasasti Sangguran yang dibuat tahun 928 Masehi dan masih telantar di Inggris perlahan terkuak. Fungsi prasasti itu pada zamannya adalah surat keputusan (SK) Raja Dyah Wawa yang memberikan status otonomi khusus pada Desa Sangguran.
Dalam prasasti yang dibaca kembali dan diterjemahkan arkeolog dan sejarawan Indonesia, Dr Hasan Djafar, disebutkan ada kalimat:
Β
"Ketika itulah saatnya perintah Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga diterima oleh Rakryan Mapatig i Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama, diturunkan kepada kedua Samgat Momahumah (yang terdiri dari) Samgat Madander: Pu Padma, Samgat Anggehan: Pu Kundala. Memerintahkan agar desa Sangguran (yang termasuk dalam) watak Waharu, melaksanakan pungutan penghasilan sebesar 6 suwarna emas, sebagai pemasukan untuk Punta di Mananjung yang bernama Dang Acaryya".
Hasan saat ditemui detikcom menjelaskan, Raja Dyah Wawa itu mengeluarkan prasasti dalam rangka keputusan mengenai penetapan Desa Sangguran untuk dijadikan desa perdikan atau sima.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasan merujuk kata 'Punta' dalam prasasti itu yang berarti pejabat dan Mananjung adalah satu desa. Dengan demikian perintah itu ditujukan untuk kepala daerah di Mananjung yang bergelar 'Dang Acarrya'. Sayang, nama kepala daerah itu dalam prasasti tak bisa terbaca karena sudah rusak.
Hasan, yang membaca salinan isi prasasti yang tersimpan di perpustakaan Instituut Kern, Rijksuniversiteit Leiden, Belandadi bawah bimbingan arkeolog Belanda JG de Casparis tahun 1984-85 saat dirinya belajar di sana, kemudian merujuk lagi kalimat dalam prasasti itu yang berbunyi:
"..untuk Bhatara (yang bersemayam) di bangunan suci pendharmaan tempat Siwa bersemayam dan empat macam pemujaan untuk Bhatara setiap hari. Demikianlah nazar Sri Maharaja dan Rakryan Mapatih pada waktu itu terhadap perdikan di Sangguran yang dipersembahkan untuk Bhatara yang bersemayam di bangunan suci kebaktian di daerah perdikan para pandai di Mananjung"
Dari kutipan kalimat tersebut, Hasan menjelaskan, bahwa Desa Sangguran yang telah ditetapkan menjadi desa yang dibebaskan dari pembayaran pajak namun sekaligus memberikan hak pada pejabat daerah, agar penghasilan dari daerah tersebut digunakan untyuk membiayai berbagai keperluan pemujaan pada Bhatara.
"Bhatara secara umum artinya dewa. Namun dalam konteks ini, orang yang didewakan di suatu bangunan suci tempat peribadatan. Siapa Bhatara itu? Umumnya nenek moyang para raja, dimuliakan dalam bentuk arca dewa, di suatu candi, obyek pemujaan sesuai dengan agama Hindu," jelas alumni arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia tahun 1975 ini.
Jadi Desa Sangguran ditetapkan bebas membayar pajak, namun sekaligus dibebani tugas membiayai upacara pemujaan di desa lain, Desa Mananjung. Di Desa Mananjung ini ada tempat suci untuk memuliakan nenek moyang Raja Dyah Wawa.
"Jadi bangunan suci itu tidak ada di Desa Sangguran, melainkan di Desa Mananjung. Nah Desa Mananjung ini juga desa yang diberikan status desa perdikan atau sima. Namun kenapa Desa Sangguran harus membiayai upacara di Desa Mananjung yang dibebaskan pula untuk membayar pajak pada kerajaan? Karena Desa Mananjung ini dihuni oleh para pandai besi, para Mpu yang miskin, jadi mana mungkin membiayai pemujaan di situ?" ungkap dia.
Dalam prasasti disebutkan 'kajurugusalyan ing mananjung', "kajurugusalyan" adalah bahasa Jawa kuno untuk pandai besi. Desa Mananjung dibebaskan dari kewajiban membayar pajak karena harus memelihara bangunan suci, tempat pemujaan nenek moyang raja. Karena penduduk Desa Mananjung yang kebanyakan para pandai besi itu miskin, Raja Dyah Wawa, akhirnya membuat keputusan agar upacara peribadatan di bangunan suci itu ditanggung semua pembiayaannya di desa tetangganya, Desa Sangguran. Untuk itulah Desa Sangguran di Jawa Timur, dibebaskan dari membayar pajak ke kerajaan yang diketahui pusatnya ada di Jawa Tengah itu.
Karena dibebaskan dari membayar pajak, maka petugas kerajaan dari pusat Kerajaan Mataram tidak boleh memasuki desa, termasuk juru pungut pajak dan rincian pejabat yang tak boleh mengambil pungutan. Hal itu tampak dalam kalimat prasasti sebagai berikut:
"(Daerah perdikan) di Waharu (tersebut) kedudukannya menjadi daerah swatantra, yang tidak boleh dimasuki oleh patih, wahuta, dan semua abdi dalem raja sejak dahulu, misra para misra, wuluwulu, prakara, pangurang, kring, padam, manimpiki, paranakan, limus galuh, pangaruhan, taji, watu tajam, halu warak, rakadut, pinilai, katanggaran, tapa haji, air haji, malandang, lewa leblah, kelangkang, kutak, tangkil, trepan, salwit, tuha dagang, juru gusali, tuha namwi, tuhan unjaman, tuhan judi, juru jalir, pamanikan, misra hino, wli hapu, wli hadung, wli tambang, wli panjut, wli hareng, pawisar, palamakm pakalangkang, urutan, dampulan, tpung kawung, sungsung, pangurang, pasuk alas, payungan, sipat wilut panginangin, pamawasya, pulung padi, skar tahun, panrangan, panusuh, hopan, sambal sumbul, hulun haji, pamresi, watak i jro, semuanya itu tidak diperkenankan memasuki desa"
(nwk/kha)