Pemerintah Indonesia pernah berusaha melobi keluarga Lord Minto untuk meminta kembali Prasasti Sangguran pada tahun 2006 lalu. Namun sayang, usaha tersebut tidak berhasil karena keluarga Lord Minto meminta kompensasi yang sangat mahal. Bagaimana kronologinya?
Dalam "LAPORAN : PENINJAUAN DI LOKASI PRASASTI SANGGURAN DAN PERTEMUAN DENGAN LORD MINTO, TGL. 21 – 23 PEBRUARI 2006" yang ditulis sejarawan Inggris, Nigel Bullough dipaparkan kronologi melobi keluarga Lord Minto. Berikut kronologi dari dokumen yang diterima detikcom dari sejarawan Inggris, Peter Brian Ramsay Carey:
19 Februari 2006
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan Tim Delegasi terdiri dari empat orang, sebagai berikut :
- Dra. Sri Rahayu Budiarti, MM., Sekretaris Direktorat Sejarah dan Purbakala.
-Drs. Soeroso, M.Hum., Direktur Peninggalan Sejarah dan Purbakala.
-Drs. Dukut Santoso, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Borobudur.
-Nigel Bullough, budayawan dari Yayasan Nandiswara.
20 Februari 2006
Delegasi Depbudpar tiba di London. Kemudian, keempat anggota Tim dijemput oleh Dr. Pribadi Sutiono dari KBRI dan segera diantar ke tempat penginapan. Sementara itu Nigel Bullough menghubungi Lord Minto melalui telpon dan mengonfirmasikan pertemuan pada hari berikutnya.
21 Februari 2006
Pukul 11.00 Waktu Setempat
Pertemuan pertama antara Tim Delegasi dan Lord Minto di KBRI London. Pada pertemuan tersebut hadir juga Dr. Pribadi. Setelah mengenalkan diri, Bapak Soeroso kemudian menjelaskan maksud dan tujuan kunjungan Tim Delegasi ke London.
Ini diterima dengan baik oleh Lord Minto, yang segera menegaskan niatnya untuk melepaskan batu prasasti yang telah dimiliki keluarganya selama hampir 200 tahun.
Beliau menambah bahwa pengembalian “Batu Minto” kepada Indonesia adalah langkah yang tepat pada saat ini dan merupakan sebuah “kewajiban moral”. Lagi pula keputusan yang diambilnya ternyata mendapat dukungan dari keluarganya serta para penduduk di sekitar lokasi prasasti.
Namun Lord Minto mengingatkan bahwa kesepakatan apa pun yang dirancangkan nanti antara keluarganya dengan pemerintah Indonesia perlu disetujui terlebih dahulu oleh kedua anggota dewan pengawas (trustees), yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset yang dimilikinya.
Meskipun pada prinsipnya dewan tersebut tidak menaruh keberatan atas pelepasan “Batu Minto”, mereka telah mengambil sikap berdasarkan konsultasi independen dengan beberapa pihak, termasuk British Museum dan Victoria and Albert Museum.
Kesimpulannya adalah bahwa “Batu Minto” mempunyai nilai tertentu, dan oleh karenanya dianggap bahwa kompensasi adalah hal yang layak ditawarkan.
Tentang bentuk atau jumlah kompensasi tersebut tidak ada keterangan lebih lanjut, karena para anggota dewan telah menyerahkan negosiasi sepenuhnya kepada Lord Minto sendiri. Tim Delegasi hanya diberi tahu bahwa kompensasi yang diharapkan adalah “substansial dan signifikan”.
Walaupun masalah kompensasi tentunya menjadi tanda tanya yang penting bagi Tim Delegasi, hal tersebut tidak menimbulkan ketegangan antara kedua belah pihak. Sebaliknya, sepanjang diskusi yang berlangsung selama satu jam, Lord Minto tampak sangat ramah dan bersemangat. Bahkan beliau mengundang Tim untuk memandang “Batu Minto” di lokasinya pada hari berikutnya, sekaligus makan siang bersama di Minto Golf Club.
Pukul 12.00 Waktu Setempat
Setelah pertemuan dengan Lord Minto berakhir, Tim Delegasi kemudian diterima oleh Duta Besar R.I. untuk Kerajaan Inggris, Bapak Marty Natalegawa. Kedatangan rombongan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata disambut dengan baik oleh Bapak Dubes, yang langsung menawarkan fasilitas KBRI guna melancarkan kegiatan Tim selama di Inggris.
Kemudian Bapak Soeroso menjelaskan maksud dan tujuannya, sekaligus melaporkan hasil pertemuan dengan Lord Minto. Pada saat yang sama Nigel Bullough menyampaikan sebuah kumpulan tulisan yang mengisahkan, antara lain, tentang arti dan sejarah “Batu Minto”, serta perkembangan dalam tiga tahun terakhir.
Bapak Dubes mendengar laporan dari ketua Tim dengan penuh perhatian, kemudian menyampaikan pendapatnya. Beliau mengatakan bahwa pengembalian “Batu Minto” ke Tanah Air tentunya adalah hal yang menyenangkan, bahkan dapat mempererat hubungan baik antara Indonesia dan Inggris. Tetapi justru karena itu pelaksanaannya perlu diatur dengan bijaksana, dengan perhatian pada detail.
Pada intinya, pandangan ini tidak jauh beda dengan pesan yang pernah disampaikan oleh Dubes Inggris di Jakarta, Charles Humfrey, yang mementingkan sebuah “happy ending”. Dengan kata lain, pada kesempatan yang baik ini, jangan sampai ada pihak yang dikecewakan.
Khususnya mengenai soal ganti rugi bagi keluarga Minto, Bapak Dubes R.I. di London memperlihatkan sikap yang cukup tegas. Menurut beliau, penawaran kompensasi dalam bentuk uang, berapa pun jumlahnya, merupakan tindakan yang kurang tepat.
Meskipun beliau menyadari bahwa kasus seperti ini jarang sekali terjadi, rupa-rupanya beliau khawatir bahwa kompensasi finansial untuk Lord Minto dapat menimbulkan preseden bagi pemilik Warisan Budaya Indonesia yang lain di masa depan.
Walaupun demikian, tentunya sikap besar hati dari Lord Minto perlu diakui oleh pemerintah Indonesia, yang mungkin dapat memberikan semacam penghargaan atau tanda apresiasi, ujarnya.
22 Februari 2006
Sesuai dengan rencana, Tim Delegasi bertemu dengan Lord Minto di Skotlandia. Ibu Sri Rahayu bersama Nigel Bullough naik pesawat ke Edinburgh pada pagi hari dan dijemput di bandara oleh para anggota lain, termasuk Bapak Pribadi, yang telah berangkat dari London sehari sebelumnya melalui darat.
Dari Edinburgh Tim berjalan ke arah tenggara dan melewati kota Galashiels dan Selkirk, kemudian bertemu dengan Lord Minto di desa Denholm. Setelah memandang sebuah monumen yang didirikan untuk John Leyden di desa tersebut, rombongan melanjutkan perjalanan ke Minto, yang terletak hanya 2 km ke arah barat laut dari Denholm. Sedangkan jaraknya dari Edinburgh adalah 60 km.
Di desa Minto, Tim beristirahat sebentar di Golf Club House dan menikmati pemandangan yang indah. Ternyata desa Minto berdekatan dengan perbatasan Inggris-Skotlandia dan Lord Minto menunjukkan bukit-bukit ke arah selatan yang termasuk wilayah Inggris.
Kemudian Tim diantar ke lokasi Prasasti Sangguran, yang berdiri di halaman sebuah rumah pada jarak 600m di sebelah utara Golf Club.
Rupa-rupanya Lord Minto sangat terharu waktu melihat ekspresi muka anggota Tim pada saat memandang batu prasasti untuk pertama kalinya. Tentunya tidak biasa baginya untuk menerima rombongan dari jauh yang bertindak seperti orang sedang berziarah ke sebuah tempat keramat. “Ini adalah momen bersejarah”, serunya, “karena Batu ini akhirnya dapat dipandang lagi oleh orang Indonesia setelah hampir 200 tahun !” Harus diakui bahwa suasana pada waktu itu sulit untuk digambarkan.
Para anggota Tim langsung menyibukkan diri dengan berbagai alat rekaman. Baik Bapak Pribadi maupun Nigel Bullough membawa kamera video, sedangkan Bapak Dukut mengukur batu prasasti dengan bantuan Bapak Soeroso, dan hasilnya dicatat oleh Ibu Sri.
Berdasarkan ukurannya serta jenis batunya, yang merupakan basalt andesit dengan kepadatan 2.75, Bapak Dukut dapat mengalkulasi beratnya, yaitu 3.4 ton. Lord Minto terheran-heran.
Suatu hal yang menyenangkan adalah bahwa kondisi Prasasti Sangguran masih cukup baik, meskipun “Batu Minto” telah dipindahkan dua kali oleh pemiliknya di Skotlandia. Lagi pula, kenyataan bahwa tulisan di bagian belakang prasasti lebih jelas dari pada yang di depan kiranya tidak disebabkan oleh posisinya sekarang.
Perkiraan ini didukung oleh lukisan John Newman pada tahun 1812, yang ternyata memperlihatkan bagian belakang prasasti. Dapat diduga bahwa Newman pun memilih sisi batu yang paling jelas pada waktu ia membuat gambarnya. Jika mengingat bahwa usia Prasasti Sangguran kini mendekati 1100 tahun, besar kemungkinan bahwa kepudaran pada tulisan di sisi depan justru terjadi sebelum pemindahannya ke Skotlandia.
Setelah memandang batu prasasti sampai puas, Tim kembali ke Golf Club House dan makan siang. Pada waktu itu Lord Minto mengambil kesempatan untuk memperlihatkan beberapa piala yang pernah diterima oleh para pendahulunya pada masa lalu. Tanda penghormatan tersebut, yang terbuat dari perak, tersimpan di sebuah lemari kaca di Golf Club.
Sisa waktunya di Minto digunakan untuk menikmati suasana di tepi Sungai Teviot yang mengalir dari barat ke timur. Di sebelah utara sungai terlihat runtuhan benteng kuna di puncak bukit yang disebut Minto Craigs. Di tempat itulah Lord Minto I membayangkan Prasasti Sangguran pada waktu ia masih di Calcutta.
Untung bahwa impiannya tidak terwujud, karena letak “Batu Minto” di atas perbukitan granit tersebut tentunya akan mempercepat kerusakan pada prasastinya. Bahkan “Batu Minto” mungkin sudah jatuh korban pada tangan jahil, seperti pernah dialami benteng di Minto Craigs beberapa tahun yang lalu.
Waktu berjalan dengan cepat, tetapi Tim masih mendapat kesempatan untuk berkunjung ke sebuah gereja tua di desa, tempat pemakaman para Earls of Minto dahulu. Di halaman gereja Lord Minto menunjukkan lokasi makam ayahnya, Lord Minto VI, yang meninggal dunia pada bulan September 2005. Terlihat juga sebuah monumen yang memperingati para korban perang yang berasal dari desa Minto.
Rombongan akhirnya kembali ke Golf Club dan disana berpisah. Ibu Sri bersama Nigel Bullough mengikuti Lord Minto ke Edinburgh dan naik pesawat ke London pada jam 6 sore. Sedangkan anggota Tim yang lain langsung kembali ke arah selatan melalui darat dan mencapai kota London dalam waktu 7 jam.
23 Februari 2006
Acara pada tanggal 23 Februari cukup padat. Pada pagi hari Tim Delegasi bertemu dengan Professor Michael Hitchcock di London Metropolitan University. Maksudnya untuk saling mengenalkan diri sambil menukar pikiran, mengingat bahwa Professor Hitchcock pernah berkunjung ke Minto pada tahun 2004.
Salah satu hal yang dibahas adalah bagaimana nilai “Batu Minto” dapat ditaksirkan dengan uang. Ini tetap menjadi pertanyaan yang amat sulit untuk dijawab secara memuaskan. Professor Hitchcock menganjurkan bahwa, meskipun para Minto Trustees telah mencari nasehat dari British Museum serta Victoria and Albert Museum, kiranya kedua lembaga tersebut tidak akan menentukan harga bagi “Batu Minto”, terutama karena lembaga publik dilarang melakukan taksiran terhadap sebuah benda.
Rupa-rupanya para ahli di museum tersebut telah mengatakan bahwa “Batu Minto” mempunyai nilai yang “substansial” dan “signifikan”, dan nasehat inilah yang ditafsirkan sendiri oleh para Trustees.
Pertemuan dengan Michael Hitchcock berlangsung sekitar satu jam. Kemudian Tim menuju ke British Library untuk makan siang, sekaligus bertemu dengan Dr. Annabel Gallop, yang mengepalai koleksi dari India dan Asia Tenggara.
Pada saat itu Nigel Bullough menggunakan kesempatan untuk mengingatkan Ibu Annabel bahwa kisah “Batu Minto” sebenarnya dimulai akibat identifikasinya yang keliru terhadap Prasasti Airlangga dalam sebuah terbitan pada tahun 1995. Ternyata kesalahan tersebut telah membawa keuntungan yang tak terduga.
Rupa-rupanya Ibu Annabel sendiri sangat tertarik pada ceritera yang disampaikan Tim dari Indonesia. Dengan penuh semangat beliau mengatakan bahwa, sejauh diketahuinya, hal serupa tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kemudian beliau menunjukkan sejumlah dokumen sebagai tambahan informasi, diantaranya beberapa foto yang pernah diambil Professor Kozo Nakada dari Jepang pada saat sarjana tersebut melakukan penelitian di Minto.
Menarik juga sebuah lukisan dari John Newman, bertanggal 2 April 1812, yang tidak pernah diterbitkan. Lukisan tersebut mirip yang ditampilkan dalam katalog berjudul Early Views of Indonesia, terbitan British Library pada tahun 1995, tetapi posisi tangan pada salah seorang “penduduk lokal” telah dirubah oleh pelukis – “mungkin agar lebih sopan”, ujar Ibu Annabel.
Selain itu, Tim Delegasi sempat melihat sebuah surat yang dikirim kepada British Library oleh Professor J.G.de Casparis pada tahun 1997. Ternyata sarjana tersebut pernah berkunjung ke Minto beberapa kali antara tahun 1955 dan 1979.
Menarik perhatian bahwa pada waktu itu Professor de Casparis sempat melihat sekitar 12 arca serta beberapa batu candi yang terletak di lokasi Prasasti Sangguran. “about 20 yards from Minto House”. Apakah koleksi tersebut masih dimiliki keluarga Minto tidak diketahui, tetapi rupanya de Casparis pernah menganjurkan agar peninggalan tersebut sebaiknya ditempatkan di sebuah museum di Edinburgh.
De Casparis menambah bahwa pada waktu itu juga beliau telah mendapat dukungan dari Menteri Kebudayaan di Indonesia, yaitu Professor Muhammad Yamin, tetapi pihak KBRI di London tidak mengindahkan pesannya. Akhirnya beliau memohon agar Ibu Annabel menindaklanjuti kasus “Batu Minto” dan, kalau mungkin, berupaya untuk menyelamatkan Warisan Budaya tersebut di sebuah tempat yang aman, seperti British Museum.
Dari British Library Tim Delegasi segera kembali ke KBRI untuk bertemu sekali lagi dengan Lord Minto pada pukul 4 sore. Pertemuan tersebut, yang dihadiri Bapak Dubes RI, Marty Natalegawa, berlangsung ramah dan santai. Lord Minto sekali lagi menyampaikan niatnya untuk mengembalikan Prasasti Sangguran kepada tanah asalnya dan ucapannya diterima dengan baik oleh Bapak Dubes, sebagai wakil pemerintah Indonesia di Inggris.
Pada kesempatan ini beliau mengulangi pesan yang disampaikannya dua hari sebelumnya, yakni bahwa sifat besar hati di pihak Lord Minto tentunya akan mempererat hubungan baik antara kedua negara, terutama di bidang kebudayaan.
Kemudian Bapak Dubes menganjurkan agar pihak Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyiapkan sebuah “time-line”. Tahap pertama tentunya adalah merancang sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Lord Minto, yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Bapak Dubes menambah bahwa sebaiknya isi perjanjian tersebut terlebih dahulu disusun melalui jalur informal.
Kemudian, setelah disetujui, sebuah dokumen resmi dapat dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang akan disampaikan kepada KBRI di London. Sedangkan yang ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Jakarta adalah Bapak Pribadi. Demikianlah pesan dari Bapak Dubes. Kemudian para anggota Tim Delegasi serta staf KBRI bersalaman dengan Lord Minto dan pertemuan berakhir dengan baik dan penuh optimisme.
24 Februari 2006
Tanggal 24 Februari digunakan untuk berkunjung ke British Museum serta beristirahat, sebelum berangkat lagi ke Indonesia pada hari berikutnya.
26 Februari 2006
Tim Delegasi akhirnya tiba kembali di Jakarta pada pagi hari, tanggal 26 Februari.
"Kesimpulannya adalah bahwa, pada prinsipnya, semua pihak menyetujui gagasan untuk memindahkan Prasasti Sangguran (“Batu Minto”) ke Museum Nasional di Jakarta. Di tempat tersebut batu prasasti ini, yang merupakan dokumen sejarah yang amat berharga, dapat dirawat dan diteliti oleh para ahli serta dinikmati oleh wisatawan dari semua penjuru dunia. Dan yang paling penting, “Batu Minto” akhirnya dapat dipandang lagi oleh masyarakat luas di Indonesia, setelah absen selama hampir dua abad," tulis Bullough mengakhiri laporannya.
Namun hingga 2015 ini, sejarawan Peter BR Carey mengatakan Prasasti Sangguran masih di pekarangan keluarga Lord Minto. Menurutnya, keluarga Lord Minto meminta uang yang sangat banyak sebagai imbal dari pengembalian prasasti itu. (Baca juga: Tolong! 2 Prasasti Sejarah Milik RI ini Telantar di Inggris dan India)
"Pemerintah sudah ada usaha, tapi mereka, orang Skotlandia pelit dan minta uang segunung, 70 ribu poundsterling," ungkap dia saat ditemui di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015) malam.
(nwk/fdn)