"Sebenarnya arahnya tidak melantik. Hanya menunda status Budi Gunawan. Ini politik santun, gaya Solo. Kita tahu lah, kalau proses peradilan itu tidak sebentar," kata pakar hukum tata negara Refly Harun dalam diskusi 'Mencari Jalan Keluar Silang Sengkarut Pemilihan Kapolri' di kantor LBH, Jl Diponegoro, Jakarta, Kamis (5/2/2015).
Hal ini dimulai Jokowi ketika menunjuk Wakapolri Komjen Badrodin Haiti bisa memimpin sementara Korps Tri Brata I itu. Saat itu, pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri juga ditunda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia berpendapat terkesan kalau Jokowi berkeinginan agar Komjen Budi Gunawan secara pribadi mengundurkan diri. Namun, seiring waktu, harapan itu belum terjadi karena Budi enggan mundur meski sudah berstatus tersangka.
"Sesungguhnya Budi Gunawan tahu dirilah. Masalahnya dia tidak mau mundur. Salahnya memandang dari dimensi trust lebih penting dari hak," sebutnya.
Kemudian, politik santun ini kembali diperlihatkan Jokowi ketika pembatalan Komjen Budi sebagai Kapolri dikatakan lewat Mensesneg Pratikno. Pernyataan Praktino dianggap sebagai keinginan langsung Jokowi sebagai kepala negara. Ucapan Praktino juga diperkuat Ketua Tim Independen, Syafii Maarif kalau Komjen Budi batal dilantik.
"Kata Mensesneg kalau akan indah kalau BG mundur. Itukan seperti sinyal Jokowi agar BG mundur," ujarnya.
Lagipula, imbauan halus agar mundur ini diisyaratkan secara tidak langsung. Pasalnya, kata dia, tidak ada undang-undang yang mewajibkan pejabat negara mesti mundur kalau menjadi tersangka korupsi. Tapi, secara etika, seorang Kapolri yang statusnya tersangka tidak pantas tetap menjabat di posisinya.
"Siapapun yang tersangka, tidak pantas untuk dijadikan Kapolri. Tapi, kekuatan-kekuatan di sekitar Jokowi sangat getol agar tetap melantik Budi Gunawan," sebutnya.
(hat/vid)