"Harapan kami kepada presiden agar bisa mengusut tuntas. Berkas yang ditangani Komnas HAM jangan berhenti di Kejagung. Buka pengadilan Ad hoc, semoga Jokowi bisa tegas, mengerti dan mau melanjutkan," kata perwakilan korban Talangsari, Amir dalam diskusi publik di kantor KontraS, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Jumat (30/1/2015).
Amir mengatakan kalau korban Talangsari yang ingin menuntut keadilan HAM masih banyak. Meski ada sebagian yang sudah berdamai dengan pihak yang diduga pelaku. Saat ini, kata Amir, pihak korban yang masih hidup menghadapi pandangan negatif terkait kelompok radikal dari masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amir menyindir adanya pernyataan yang menyebut kalau korban Talangsari meninggal karena bunuh diri. Dia menegaskan pernyataan 'pembelaan' ini janggal.
"Kalau Hendropriyono bilang bunuh diri berarti kami salah. Seolah-olah hampa. Kami tidak rela. Tidak ada islam itu bunuh diri," tuturnya.
Hal senada dikatakan mantan komisioner Komnas HAM, M. Billah. Dia menantang adakah keberanian Presiden Jokowi untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM. Pasalnya, selama pemerintahan Jokowi gamang soal penegakan HAM, maka tidak ada keadilan bagi korban.
"Kalau pemerintahan gamang, selama itu tidak terjadi pengadilan HAM. Berani tidak Pak Presiden Jokowi buka lagi dan usut tuntas. Segera buka pengadilan ad hoc buat lanjut dan enggak berhenti," sebut Billah.
Pentingnya pengusutan kasus Talangsari karena ada beberapa pelanggaran yang dilakukan. Selain 130 orang meninggal, tragedi Talangsari juga merampas kemerdekaan karena mengusir hak masyarakat dari tempat tinggalnya.
"Temuan Komnas HAM waktu itu ada 130 yang meninggal. Pengusiran, pemindahan 77 penduduk secara paksa, itu termasuk perampasan kemerdekaan," ujar pendiri Kontras itu.
Adapun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyikapi Jokowi mesti merealisasikan komitmennya dalam penegakan HAM. Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Ferry Kusuma seharusnya Jokowi jangan merangkul oknum yang diduga pelaku menjadi beban sosial politik.
Hal ini menjadi sulit karena Jokowi punya intervensi politik dalam kasus pelanggaran HAM ini.
"Talangsari kan jadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat. Kasus ini dianggap sudah selesai di Komnas HAM. Padahal ini belum," tutur Ferry.
Ferry menekankan perlunya pengadilan ad hoc untuk penegakan ham agar pelanggaran serupa tidak terjadi kembali di masa mendatang.
"Nyatanya Jaksa Agung belum tindak lanjuti sampai ke penyidikan karena enggak ada pengadilan ad hoc HAM itu. Padahal ini harus diingat agar tidak terulang di mada masa yang akan datang," tuturnya.
Peristiwa Talangsari terjadi 1989. Di mana terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan penduduk desa yang dipimpin Warsidi. Bentrokan warga dan tentara itu buntut tewasnya Kapten Soetiman. Tentara dipimpin Danrem saat itu Hendropriyono. Lebih dari seratus warga tewas dalam peristiwa itu.
(hat/ndr)