Namun sidang dan putusan praperadilan atas status tersangka tersebut tak akan mempengaruhi proses penyidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Djoko penetapan status tersangka oleh penyidik bukan objek praperadilan.
Hal itu mengacu pada pasal 77 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dalam pasal 77 KUHAP disebutkan bahwa yang menjadi objek praperadilan adalah tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan ganti kerugian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Putusan itu (pembatalan status tersangka) bertentangan dengan Undang-undang, maka tak punya kekuatan hukum," kata Djoko saat berbincang dengan detikcom, Jumat (30/1/2015).
Dalam catatan detikcom, ada dua kali hakim praperadilan membatalkan status tersangka. Pertama, penetapan Bachtiar Abdul Fatah sebagai tersangka kasus proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia.
Atas penetapan tersangka tersebut, Bachtiar mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 27 September 2012 hakim tunggal Suko Harsono memutus penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Namun kejaksaan tidak mengindahkan putusan praperadilan itu dan Bachtiar tetap diproses dan diadili ke Pengadilan Tipikor.
Gugatan praperadilan atas status tersangka kedua dilayangkan oleh Toto Chandra. Pimpinan perusahaan Permata Hijau Group itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditjen Pajak pada 2009.
Tak terima dengan penetapan tersangka ini, Toto lalu menggugat dengan mengajukan praperadilan ke PN Jaksel pada Agustus 2014. Hakim tunggal M Razzad mengabulan gugatan Toto dan membatalkan penetapan tersangka oleh Ditjen Pajak. Hakim Razzad kemudian dilaporkan ke Komisi Yudisial. Namun hingga kini Komisi Yudisial belum memutus perkara Razzad.
(erd/nrl)