Presiden Joko Widodo menolak grasi dua terpidana mati 'Bali Nine', Myuran Sukumaran dan Adrew Chan asal Australia, dalam Keputusan Presiden (Keppres) No 9/10 Tahun 2015β. Ekskusi mati keduanya tinggal menunggu surat perintah eksekusi dari Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta.
Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Heri Wiyanto mendukung langkah itu. Namun ia mengharapkan supaya pelaksanaan eksekusi tidak dilakukan di Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, eksekusi mati Myuran dan Andrew sebaiknya tidak dilakukan di Pulau Dewata untuk menjaga suasana tetap kondusif. Terutama menjaga psikologis wisatawan asal Australia di Bali yang jumlahnya cukup tinggi.
"Agar tidak menggangu pariwisata di sini (Bali-red),β imbuhnya.
Meski demikian, kata Heri, pihaknya akan tetap menyiapkan segala sesuatunya terkait pelaksanaan eksekusi. Itu berkaitan dengan persiapan beberapa anggota yang sudah dilatih menembak dan kesiapan mental jelang eksekusi.
"Kami siap, anggota juga sudah kami siapkan," tukasnya.
Senada dengan Polda Bali, Gubernur Mangku Pastika juga melontarkan menolak apabila ada rencana eksekusi di Bali. Sama halnya dengan korps baju cokelat itu, bahwa kondusifitas Bali terkait daerah wisata yang menjadi pertimbangan.
"Saya bukan soal setuju nggak setuju. Saya kira gimana ya, mungkin sebaiknya jangan di Bali lah. Saya kira, saya ingin Bali tetap harmonis, tetap aman dan tetap damai. Kalau bisa jangan di Bali," ucap Manta Kapolda Bali itu beberapa waktu lalu.
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan ditangkap atas keterlibatan kepemilikan heroin seberat 8,2 kilogram pada 17 April 2005. Selain keduanya, tujuh orang lainnya yakni Matthew Norman, Scott Rush, Martin Stephens, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence dan Tan Duc Thanh Nguyen.
Karena berjumlah sembilan orang, maka disebut dengan 'Bali Nine'. Andrew Chan sendiri dianggap sebagai 'God Father' dalam kelompok ini.
(bar/bar)