"Penanganan pelanggaran HAM berat tidak mudah dan tidak bisa cepat, karena hasil penyelidikan Komnas HAM harus lengkap dan memadai, terlebih fakta bahwa pengadilan HAM ad hoc belum terbentuk,"β ucap Jaksa Agung HM Prasetyo.
Disampaikan dalam seminar 'Outlook 2014, Come to 2015: Outlook Penegakan Hukum 2014 dan Upaya Perbaikan Kinerja di Tahun 2015' di Gedung Nusantara IV DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (22/1/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prasetyo menjelaskan, tertundanya penanganan pelanggaran HAM berat sejauh ini karena bolak-balik berkas perkara antara komnas HAM sebagai penyelidik dengan Kejaksaan Agung sebagai penyidik. Hal itu akibat belum dipenuhinya petunjuk Jaksa Agung oleh komnas HAM.
"Yang menentukan apakah hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat sudah lengkap atau masih kurang lengkap bukanlah Komnas HAM selaku penyelidik, melainkan Jaksa Agung selaku penyidik," paparnya.
Dalam hal ini, penyidik Jaksa Agung menilai masih terdapat kekuranglengkapan hasil penyelidikan Komnas HAM, maka penyidik mengembalikan kepada penyelidik disertai petunjuk dan penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Padahal dalam pasal 22 UU nomor 26 tahun 2000 penyidikan terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat dibatasi jangka waktu 90 hari dan bisa diperpanjang selama 150 hari. Namun jika belum selesai bisa dikeluarkan SP3.
"Pelanggaran HAM berat kemungkinan bisa dipertimbangkan bisa ditempuh upaya rekonsiliasi," ucapnya tanpa merinci maksud rekonsiliasi.
"Dan mohon dipahami dengan belum ditanganinya perkara HAM berat bukan berarti Jaksa Agung sengaja, justru karena kami inginkan supaya penanganan perkara pelanggaran HAM berat hasilnya optimal tak kecewakan banyak pihak," tegas mantan politikus NasDem itu.
Kasus pelanggaran HAM berat adalah Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998 β 1999, Mei 1998, Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997 β 1998, Talangsari 1989, Wasior Wamena 2001, Peristiwa 1965-1966 dan Pembunuhan Misterius 1982 β 1984.
(iqb/trq)