"Langkah awal kita adalah sosialisasi ke SKPD di kabupaten dan provinsi. Kemudian ke industri kecil dan menengah, baru ke pelaku usaha yang relatif besar," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY Sutarto di kantornya, Jl Argolubang, Yogyakarta, Rabu (22/1/2015).
Sinergisitas antar SKPD penting karena legalitas kayu juga bukan melulu urusan hutan melainkan juga berkaitan dengan industri dan ekspor. Oleh sebab itu, ada pula kerja sama dengan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi soal pembinaan IKM.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah bertekad 1 Januari 2015 SVLK semua berlaku. Tapi belum semua pelaku usaha siap. Jadi ada beberapa kemudahan regulasi termasuk untuk IKM yang omzetnya kurang dari Rp 10 miliar," ujar Kabid Rehabilitasi Produk Hutan, Ahmad Nasrudin dalam kesempatan yang sama.
Kemudahan regulasi itu adalah IKM hanya wajib memperoleh dokumen Deklarasi Kesesuaian Pasokan (DKP). Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup juga menyediakan akses mendapatkan SVLK secara gratis asalkan IKM membentuk kelompok dalam satu koperasi.
"Penggabungan kelihatannya mudah, tapi menggabung 5 industri dengan visi berbeda jadi satu itu sulit. Membentuk koperasi tidak mudah," ujar Nasruddin.
Industri juga mengeluhkan biaya pengurusan legalitas kayu yang mahal. Menurut Pemprov DIY, biayanya memang pernah mencapai angka Rp 12 juta, namun kini sudah turun hingga setengahnya karena berkompromi dengan lembaga verifikasi.
"Standar biaya SVLK sekarang lebih murah daripada yang lalu," ucap Nasruddin.
Salah satu industri kayu kecil menengah di DIY yaitu CV Max sudah mengimplementasikan SVLK sejak 2013. Belum ada pengaruh signifikan dalam hal pemasukan setelah penerapan SVLK karena Eropa yang menjadi negara sasaran ekspor sedang mengalami krisis ekonomi. Efek yang terasa adalah peningkatan kepercayaan pembeli.
"Saya sounding ke buyer bahwa kita memiliki SVLK. Efeknya, harga jual kita naik sekitar 3-5% dan mereka mau mengerti," kata pemilik CV Max, Hondy.
Di workshop CV Max yang terletak di Bantul, Hondy memperlihatkan surat-surat yang ia persiapkan untuk memenuhi syarat legalitas kayu. Setiap kayu yang ada di workshopnya dapat terlacak asalnya dan dipastikan legal.
Upaya sosialisasi terkait SVLK juga dilakukan sejumlah pihak, salah satunya lewat program SWITCH ASIA dari Uni Eropa. Program ini diimplementasikan oleh WWF Indonesia, WWF UK, serta Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (ASMINDO).
Program SWITCH ASIA sekarang mendampingi 18 IKM agar memiliki sertifikat legalitas kayu. IKM itu tersebar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
"Kami menyiapkan UKM dengan memberikan peningkatan kapasitas di 10 kota dan pendampingan sertifikasi," kata Senior Trade and Pulp & Paper Officer WWF Nur Maliki.
(imk/slm)