"Setelah selesai peristiwa itu, saya disidang KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi). Saya di-grounded, tidak boleh terbang 6 bulan," tutur pilot Rozaq berkisah pada detikcom di rumahnya, Komplek Garuda, Cipondoh, Tangerang, Jumat (16/1/2015) lalu.
Hari-hari selama 6 bulan itu, sempat membuat lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug tahun 1979 itu berpikir untuk mengundurkan diri dan pindah profesi. Namun karena berbagai pertimbangan yang matang, maka niat itu diurungkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pihak Garuda menyediakan psikolog untuk mengawasi ketat perkembangan psikologis pilot Rozaq. Dia juga harus menjalani tes kecemasan.
"Tes pertama, diketahui saya masih trauma, tingkat stresnya masih tinggi. Tes kedua masih (trauma). Barulah di tes ketiga dan keempat, baru dirilis. 6 bulan itu saya ditraining kembali, harus masuk ke kelas, masuk simulator. Harus dijalani," imbuhnya.
Saat masuk simulator pertama kali, instruktur mengkondisikan kasus dalam simulator itu persis seperti pendararan darurat yang dialaminya 6 bulan sebelumnya. Kasus simulatornya adalah kedua mesin pesawat mati.
"Kasusnya sama persis seperti kasus saya 6 bulan lalu. Mesin-mesin dimatikan semua. Saya sangat..sangat takut. Kejadian di simulator itu seperti kasus saya," kata Rozaq.
Setelah menjalani pelatihan terbang, masuk simulator akhirnya Rozaq diizinkan untuk menerbangkan pesawat kembali. Namun, dia tidak langsung menjadi Pilot in Command (PIC) melainkan mesti diawasi instruktur dulu untuk beberapa saat.

Pilot Abdul Rozaq (kiri) sedang terbang bersama putra ketiganya yang mengikuti jejaknya, Trian (kanan). (Foto: Pilot Abdul Rozaq)
"Masih diawasi instruktur, dilihat sudah bisa atau belum. Pertama kali terbang, tangan saya gemetaran. Kedua kali sudah mulai normal kembali, sampai 3-4 kali landing (pendaratan). Pertama gemetaran, kedua ketiga kali sudah mulai normal kembali," tuturnya kalem.
Namun, selain sisi teknis profesional yang harus dilatih, pendaratan darurat di Sungai Bengawan Solo menimbulkan dampak yang besar dari sisi spiritual Rozaq. Rozaq bergabung dengan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) Ary Ginanjar.
"Ada salah satu materinya, ada rumusnya satu dibanding nol sama dengan tidak terhingga. Rumus itu menunjukkan bagaimana kepasrahan, kemudian melakukan usaha semaksimal mungkin, hasilnya tidak perlu kita tahu. Berusaha semaksimal mungkin, hanya Tuhan yang menentukan," tutur Rozaq memetik hikmah kejadian yang nyaris merenggut nyawanya itu.
Dari detik-detik menegangkan menjelang pendaratan darurat karena mesin pesawat mati, Rozaq juga menyampaikan peranan doa dan menggantungkan harapan pada Tuhan sangatlah penting. Di saat semua mesin pesawat mati, ilmu-ilmu yang diketahuinya tentang penerbangan serasa tidak berarti.
"Berusaha semaksimal mungkin, berdoa, Tuhan mendengar dan kemudian diputuskan (hasil akhirnya). Saat itu semua ilmu IQ, ilmu apapun tidak ada lagi, kita pasrah saja," pesan Rozaq.
"Kapan pun, dimana pun, kalau sudah waktunya meninggal, sudah tak bisa mengelak lagi. Sedikitpun tidak akan mundur. Pasrah saja untuk mengurangi stres sendiri. Kalau berpikir itu terus (trauma pendaratan darurat GA421), nanti tidak maju-maju," nasihatnya.
Bahkan, Rozaq dan para penumpang GA421 saling membagi pengalaman spiritual itu, yang sebagiannya masih berhubungan baik hingga sekarang, setelah 13 tahun peristiwa itu berlalu.
Bersambung...
(nwk/try)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini