"Pidana mati itu sah, tidak melanggar HAM. Yang dianggap melanggar HAM itu orang yang tidak bersalah dicabut hak hidupnya, itu yang melanggar HAM," kata Surya saat berbincang dengan detikcom, Kamis (15/1/2015).
"Ketika kita mencabut hak hidup orang lain, ketika orang itu tidak berdosa, nggak bersalah, tiba-tiba kita bunuh, itu yang melanggar HAM. Tapi seorang penjahat, melalui proses peradilan, nggak ada pelanggaran HAM," cetus guru besar Universitas Hasanuddin, Makassar, itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya kita melalui proses peradilan seseorang dinyatakan salah, kemudian dihukum mati lalu dieksekusi, nggak ada pelanggaran HAM," cetus Surya.
Terkait kritikan proses peradilan yang masih banyak kekurangan di sana-sini, Surya Jaya menyatakan maka criminal justice system perlu diperbaiki.
"Ya mari kita perbaiki peradilannya, bukan menghapus pidana matinya. Tapi kalau pidana matinya diragukan, itu bukan menyelesaikan masalah. Sistem peradilannya, dari polisi, jaksa dan lain-lain, supaya tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam proses," beber Surya, satu-satunya hakim yang membebaskan Antasari Azhar.
Soal desakan masyarakat yang menilai Indonesia harus terbuka dengan perkembangan sistem pidana di dunia internasional, Surya mementahkannya. Sebab penghapusan pidana mati di berbagai negara tidak selamanya berbanding lurus dengan angka kejahatan, ada yang naik, ada yang turun.
"Perdebatan itu harus kita hentikan. Menghilangkan pidana mati di Indonesia susah, nggak boleh kita ikut-ikutan negara lain menghapus," beber hakim yang memulai karier sebagai hakim ad hoc tipikor itu.
Catatan penting Surya yaitu sebelum terpidana dieksekusi mati, negara harus memberikan hak-hak kepada terpidana seluruhnya terkait hak-hak asasi.
"Transformasi hukum dari luar jangan kita terima 100 persen. Apa sesuai dengan kondisi kita? Kondisi bangsa? Pidana mati dihilangkan? Saya khawatir peredaran narkoba luar biasa, luar bisa tidak bisa kita kendalilkan," pungkas Surya.
(asp/nrl)