Tarik ulur antara Pemprov dengan PT Jakarta Monorail (PT JM) sebagai pemegang konsensi membuat proses pembangunan semakin lama. Bahkan tidak jarang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sering dibuat naik pitam kala berhadapan dengan PT JM.
Sejarah panjang proyek transportasi monorel sebenarnya sudah dimulai sejak sepuluh tahun silam. Pengerjaan pembangunan kereta layang cepat itu pertama kali dilakukan pada tahun 2004. Ketika itu komposisi pemegang saham mayoritas semula adalah PT Adhi Karya melalui PT Indonesia Transit Central.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setahun berselang, Omnico gagal memenuhi tenggat setoran modal sehingga pembangunan pun mangkrak. Dua tahun kemudian, Sutiyoso yang ketika itu menjabat Gubernur DKI Jakarta berharap pembangunan bisa dilanjutkan setelah ada bantuan dana dari beberapa bank di Timur Tengah.
Tetapi, bantuan sebesar Rp 4,6 triliun itu gagal didapat sebab pemerintah pusat tidak memberikan jaminan yang jadi syarat pencairan dana. Pembangunan proyek monorel pun gagal.
Pembangunan monorel kemudian dilanjutkan saat DKI Jakarta dipimpin Fauzi Bowo. Lagi-lagi proyek ular besi ini gagal. Tiang-tiang yang sudah terpancang sebagian itu pun terbengkalai begitu saja.
Ketika masa kepemimpinan Jokowi, pembangunan kembali diteruskan. Perusahaan penggarapnya masih PT Jakarta Monorail, namun komposisi pemilik sahamnya telah berubah. Saham Adhi Karya telah diborong oleh Orthus Infrastructure Capital Ltd pada April lalu.
Jokowi memberi syarat proyek ini bisa berjalan asalkan tidak memakai dana APBD. Sudah berdiri kokoh 90 tiang yang dibangun PT Adhi Karya di sepanjang Jalan HR Rasuna Said dan Jalan Asia Afrika, Jakarta Selatan namun tak kunjung jelas nasib penggunannya.
Pada 16 Oktober 2013 lalu, Jokowi yang kala itu masih menjabat sebagai DKI 1, meresmikan peletakkan batu pertama (ground breaking) di Tugu 66 tepatnya depan Hotel Four Seasons.
Namun nyatanya peletakan batu pertama monorel itu masih sebatas seremonial. Setelah batu diletakkan memang pengerjaan kontruksi dilakukan tapi hingga kini tak ada perkembangan berarti.
Belakangan, kemelut kian meruncing lantaran PT JM enggan menyetujui usulan Pemprov DKI memberikan jaminan 5 persen dari total nilai proyek sebagai bukti dana segar yang dimilikinya. Padahal, PT JM mengaku mengantongi dana segar Rp 25 triliun untuk pembangunan proyek monorel di Jakarta.
Dirut PT JM, John Aryananda mengutarakan keberatannya atas usulan tersebut. Menurutnya, jaminan tersebut sangat besar jika dibandingkan dengan pembangunan proyek-proyek besar yang hanya menyertakan jaminan 1 persen sesuai dengan aturan dari Bappenas.
Masalah juga memanas ketika ada beberapa tiang tampak berbagai poster iklan produk konsumsi dan konser artis lokal maupun luar negeri. Nasib yang sama dialami tiang-tiang di sepanjang Jalan Asia Afrika. Rupanya, pajak dari reklame yang terpampang di tiang-tiang tersebut tidak pernah sampai pada kas Pemprov DKI.
Kini saking kesalnya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahkan telah merelakan tiang monorail mangkrak selamanya. Ia justru berkelakar saat ditanya mengenai kelanjutan tiang pancang yang telah dibangun sejak tahun 2007 itu.
"Biarinlah itu (tiang monorail) jadi monumen sejarah bahwa terjadi kebodohan Pemprov DKI saking nafsunya ingin transportasi massal," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakpus, Selasa (13/1/2015).
Namun Ahok kemudian menjelaskan, tiang tersebut kemungkinan akan tetap digunakan jika pembangunan monorail dilanjutkan. Itupun jika masalah dengan PT JM telah selesai. Sebab apabila kedua pihak masih saling bersikukuh, monorail akan tetap mangkrak seperti saat ini.
Sementara untuk saat ini belum dapat dipastikan apakah monorail tetap akan dibangun atau tidak. Ahok tengah membuka alternatif baru pembangunan moda transportasi massal yang lebih efektif dan efisien seperti kereta rel ringan atau light rail transit.
(aws/fjr)