Pejabat BIN Terbelit Uang Palsu (1)
Peluang untuk Tangkap Aktor Lain
Kamis, 27 Jan 2005 12:14 WIB
Jakarta - Tertangkapnya Kepala Staf Harian Badan Kordinasi Pemberantasan Uang Palsu(Botasupal) BIN, Brigjen Pol (Pur) Syaeri dan 4 anak buahnya serta 2 warga sipil lainnya disampaikan Wakabareskrim Mabes Polri, Irjen Dadang Garnida dua minggu lalu. Polisi memiliki bukti-bukti yang kuat mengenai perbuatan para tersangka.Dari tangan tersangka polisi menyita 230 lembar pecahan Rp 100 ribu, alat cetak, satu buah mesin emboss, 40 lembar klise film, 138 lembar uang kertas pecahan Rp 100 ribu yang belum dipotong-potong dimana tiap lembarnya terdiri atas 4 pecahan uang Rp 100 ribu 101 lembar uang setengah cetak yang belum dipotong.Selanjutnya, lima lembar cukai rokok, satu unit komputer, satu unit printer HP tipe 4600, rak sablon 2 HP Nokia tipe 2300, cat putih, 7 buah screen, 2 buah rakel, 3 kaleng cat merah, dua kaleng minyak, 2 kaleng cat pernis obat afdruk, satu sarung tangan, soda api dan lainnya.Berdasarkan pengakuan sementara para tersangka, pemalsuan uang itu dilakukan untuk kepentingan pribadi. Namun berapa jumlah uang palsu yang sudah dicetak serta dimana diedarkan masih gelap. Syaeri sendiri yang diduga kuat sebagai otak kejahatan saat ini dibantarkan di RS Polri karena sakit.Tentunya semua itu menjadi PR bagi polisi dalam menuntaskan kasus ini. Polisi harus mampu membuat kasus ini menjadi terang benderang dengan segala penyelidikan yang transparan. Terlebih kasus peredaran uang palsu cenderung menunjukan peningkatan yang memprihatinkan.Sekadar diketahui, jumlah uang palsu yang beredar selama Januari-Februari 2004 lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Menurut data BI, pada Januari 2004 ditemukan uang palsu 3.552 bilyet atau senilai Rp 221,8 juta, sedangkan pada Januari 2003 ditemukan 2.015 bilyet atau senilai Rp 82,7 juta. Pada Februari 2004 ditemukan uang palsu 4.306 bilyet atau senilai Rp 317 juta. Sedangkan Februari 2003 ditemukan 1.457 bilyet atau senilai Rp 61 juta.Di sisi lain, terbongkarnya kasus ini semakin menunjukkan bobroknya mental aparat negara sendiri. Bukan hanya kali ini saja seorang anggota TNI/Polri baik aktif maupun purnawirawan, diduga terlibat kasus kejahatan serupa. Khususnya mereka yang memang dikenal dekat dengan dunia intelijen.Sumarsono, pensiunan perwira TNI yang juga pengurus PBSI ditangkap dengan tuduhan pemalsuan uang. Dia dicokok polisi di Surabaya, Jawa Timur, usai mengawal rombongan tim bulu tangkis nasional berlaga di luar negeri.Nama mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sekaligus Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA), Jenderal Tyasno Sudarto juga pernah disebut-sebut terlibat uang palsu. Tyasno dikabarkan memerintahkan pencetakan uang palsu untuk mendukung proses jajak pendapat di Timor Timur.Ismail Putra, terdakwa kasus uang palsu pecahan Rp 50.000 bergambar mantan Presiden Soeharto senilai Rp 19,2 mengatakan, sebelum mencetak uang palsu itu dirinya bertemu dengan seseorang yang mengaku Jenderal TNI bernama Tyasno Sudarto di Hotel Central Jakarta Pusat pada bulan Juli 1999.Dalam pertemuan itu, orang yang memperkenalkan dirinya sebagai Tyasno Sudarto mengatakan saat itu menjabat sebagai Kepala BIA. Setelah memperkenalkan diri Tyasno menyatakan, BIA kesulitan dana untuk operasi intelijen di Timor Timur. Karena dananya minim, ia ditugasi Wiranto (Panglima TNI saat itu) mencari dana khusus untuk operasi itu.Tyasno mengaku sudah menghubungi BI dan mendapat izin dari BI untuk mencetak Rp 200 milyar, dan nomor serinya akan diberikan. Untuk itu, Ismail Putera diminta membantu pencetakan uang tersebut.Tyasno sendiri membantah berita miring mengenai dirinya itu. Menurut Tyasno, pernyataan itu tidak benar dan hanya bermaksud menyudutkan TNI. Meski demikian tidak ada upaya hukum, seperti pencemaran nama baik, dari Tyasno terhadap Ismail, yang juga mengaku bekas anggota intelijen TNI itu.Penyelidikan yang dilakukan polisi terhadap Syaeri Cs ini memang belum final. Masih banyak yang harus diungkap. Polisi harus bisa menguak jaringan tertinggi komplotan ini. Di samping itu bukan tidak mungkin ada motif lain selain kepentingan pribadi dalam kasus ini."Saya kira kasus ini sudah lama berlangsung, sehingga bisa jadi bermotif politis. Misalnya terkait pemilu 2004 untuk mendukung salah satu parpol. Pemilu kan membutuhkan dana yang besar," kata anggota DPR dari Komisi I, Ade Nasution kepada detikcom.
(diks/)