Ketua KY Sebut DPR Tidak Selera Calon Hakim Agung yang Pintar Sekali

Ketua KY Sebut DPR Tidak Selera Calon Hakim Agung yang Pintar Sekali

- detikNews
Jumat, 09 Jan 2015 14:09 WIB
Yogyakarta, - Ketua Komisi Yudusial (KY) Suparman Marzuki bercerita seorang hakim ad hoc yang ditangkap KPK beberapa waktu lalu ternyata tidak lolos tes psikologi. Meski tidak lolos tes, tapi tetap diluluskan menjadi hakim ad hoc.

"Saya tahu mereka itu sebenarnya tidak layak setelah psikolog yang mengetes itu lapor ke KY," ungkap Suparman.

Hal ini disampaikan dalam acara sosialisasi dan penjaringan calon hakim agung (CHA) tahun 2015 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di Jalan Taman Siswa Yogyakarta, Jumat (9/1/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah mendapat laporan tersebut, dia mengaku heran mengapa tidak lolos tes namun tetap diterima. Dia pun kemudian menanyakan ke MA soal tersebut. Terungkap saat itu memang membutuhkan banyak hakim ad hoc sehingga mayoritas diterima.

"Kita tanya MA, kok diterima. Waktu itu masih semangat 45, lagi butuh hakim ad hoc sehingga mayoritas diterima," katanya.

Sekarang ini lanjut Suparman, tidak bisa lagi. KY ikut ambil bagian dalam dua periode terakhir. Dari 98 calon yang mendaftar hanya 2 calon lolos.

"Yang terakhir dari 89 calon, hanya satu lolos," katanya.

Dia kemudia melanjutkan cerita pengalamannya, dari 80 persen pendaftar calon hakim agung adalah lawyer. Namun ada lawyer yang hanya bermodal kartu nama saja. Saat dicari tempat kantornya, ternyata tidak ketemu.

"Rupanya hanya modal kartu nama saja. Entah kartunya dibuat dimana," kata Suparman sambil tertawa.

Menurut dia, kalau ada lawyer yang mengaku praktik di Yogyakarta, Suparman yang sudah lama tinggal di Yogyakarta akan mengecek di setiap Pengadilan Negeri (PN).

"PN-PN akan saya datangi, apakah dia pernah berperkara di sini. Kalau pernah, perkara apa saja. Saya juga akan tanya kawan-kawan lawyer," katanya.

Menurut dia hal ini penting untuk cek, rekam jejaknya. Sebab integritas, seorang hakim bisa disusuri dari rekam jejak sebagai hakim. Demikian pula kalau sebagai lawyer juga sama.

"Sebagai dosen juga. Kalau dosen kemudian bimbingan skripsi dengan mahasiswa di kafe, misalnya. Ini patut kita pertanyakan, ini apa. Apalagi bimbingannya pada malam hari," kata Suparman sambil ketawa

Dia menambahkan dalam tes self assesment itu akan melibatkan tim psikolog. Tes ini, calon harus menulis sendiri siapa sebenarnya calon itu, mengapa mendaftar hingga hubungan dalam keluarga. Sedangkan untuk pemeriksaan kesehatan, KY akan bekerjasama dengan RSPAD.

Menurut dia, tes kesehatan juga penting. Sebab beban kerja seorang hakim agung itu tinggi. Seorang hakim hakim setiap hari dihadapkan banyak perkara. Dia mencontohkan seorang hakim agung itu tidak hanya bawa perkara dalam satu buah map saja, namun satu troli

"Selesai 6, datang 100 biji. Tekanan pekerjaannya besar, dikejar waktu, perkara harus cepat selesai," papar dia.

Dia menegaskan aspek kesehatan seorang hakim agung itu penting. Tim dokter akan memberikan saran.

"Ada gradasi, ini masih bisa dengan catatan berobat. Ini tidak bisa. Ada opini dokter," katanya.

Dia kemudian mencontohkan saat seleksi seorang calon hakim agung kamar agama. Dari sisi kesehatan dia menderita suatu penyakit hingga stadiun 3. Dalam track recordnya dia pintar sekali dan bagus. Menurut KY, orang tersebut harus jadi hakim agung, meski hanya sebentar. Namun ternyata tidak lolos dalam seleksi di DPR.

"Dia tidak lolos di DPR. Dia masih sehat sampai sekarang, tapi dia juga tidak mau mencalonkan diri. Rupanya DPR tidak selera," katanya.

Dalam seleksi wawancara kata Suparman, akan dilakukan secara terbuka oleh KY. Tim seleksi terdiri dari dua orang dari KY, dua orang pakar/akademisi dan praktisi hukum yakni mantan hakim agung. Materi wawancara, kalau mengambil kamar pidana, yang mewawancara mantan hakim agung pidana. Kalau kamar militer juga militer dan kamar agama juga sama.

"Nanti kalau yang nanya Pak Yahya Harahap siap-siap saja dikuliti sampai kerak-keraknya. Dia akan tanya pasal berapa, ada kaitannya dengan pasal berapa. Itu kalau Pak Yahya," ucap Suparman.

Selain mengenai pemahaman soal kode etik, Suparman berpesan agar para calon untuk belajar lagi Pengantar Ilmu Hukum (PIH) serta kemampuan mengkaji masalah hukum secara sistematis dan kronologis.

"Setelah itu dikirim ke DPR satu per satu. Kita bukan hanya mengirimkan orang saja, tapi juga menyertakan memori, cerita tentang yang bersangkutan," pungkas Suparman.

(bgs/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads