"Peristiwa pelanggaran HAM berat masih belum ada perkembangan di Kejaksaan Agung. Sampai dengan akhir tahun 2014, setidaknya 7 hasil penyelidikan Komnas HAM belum ditindaklanjuti Jaksa Agung," kata Ketua Komnas HAM Prof Hafid Abbas di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/1/2015).
7 Kasus yang dimaksud adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talang Sari 1989, penghilangan paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti/Semanggi dan peristiwa Wasior dan Wamena 2003. Padahal sesuai UU Pengadilan HAM, penyelidikan Komnas HAM mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan hingga proses di pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hafid pun menyatakan kasus pelanggaran HAM berat perlu perlakuan khusus. Perlakuan dan penanganan khusus ini meliputi penyelidik ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc. Selain itu, menurut Hafid, kekhususan ini juga memerlukan penegasan penyelidikan dilakukan oleh Komnas HAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan.
"Diperlukan juga ketentuan mengenai tenggat waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Terakhir, diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM berat," ucap Hafid.
Saat ini, Komnas HAM tengah menangani 5 kasus pelanggaran HAM berat. Kelima kasus itu adalah peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara 1999, peristiwa Jambu Keupok di Aceh Selatan 2003, peristiwa Rumah Geudong di Pidie 1989-1998, peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur 1998 dan peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah periode 1998-2003.
"Penerapan daerah operasi militer di Papua juga menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM berat. Komnas HAM akan melakukan penyelidikan untuk menentukan peristiwa di Papua memenuhi unsur pelanggaran HAM berat atau tidak," ujar Hafid.
Jika Jaksa Agung tak mampu mengungkap dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, menurut Hafid, bukan tidak mungkin kasus itu diambil pengadilan internasional. Dampaknya, Indonesia akan menyandang predikat negatif di dunia internasional.
"Jika semua kasus ini dibiarkan tanpa penyelesaian, maka akan terbuka celah masuknya mekanisme internasional sebagaimana diatur dalam prinsip Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB dan Statuta Roma," papar Hafid.
(vid/slm)