Bahkan berlayar di laut juga tak seperti terbang menggunakan pesawat di udara yang memiliki rute penerbangan khusus. Rute pelayaran dibuat sendiri oleh tim di kapal. Untuk kapal perang seperti KRI Banda Aceh, pembuat rute pelayaran adalah Departemen Navigasi dan Operasi (Depnavops) kapal.
Banyak hal yang harus diperhatikan saat menentukan rute pelayaran. Di antaranya jarak tempuh, kondisi medan, ancaman, rintangan, cuaca dan sebagainya. Mereka menggunakan peta hidrologi dengan skala geografis yang merupakan peta laut berstandar internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, para kapal yang berlayar di lautan harus menggunakan radio dengan frekuensi, agar dapat saling berkoordinasi. Mereka juga dapat mengubah rute perjalanan, jika mendadak ada perubahan rencana. Seperti yang terjadi dalam proses pencarian dan evakuasi korban Pesawat AirAsia QZ8501.
Semula KRI Banda Aceh menentukan rute pelayaran dari Jakarta menuju perairan Belitung Timur. Namun setelah ditemukan korban di kawasan Selat Karimata, kapal berbobot lebih dari 10 ribu ton ini harus mengubah haluan.
"Kami langsung membuat rute pelayaran baru dengan tetap mengutamakan pertimbangan keselamatan. Because safety is paramount," ujar Kadepnavops, Mayor Laut (P) Cahyo Hendro Guritno, di KRI Banda Aceh, Minggu (4/1/2015).
Kapal ini dipasang 4 unit GPS, alat pengukur kedalaman laut atau echo sounder, teropong, alat komunikasi radio dan 2 unit radar. Radar ini dapat mendeteksi keberadaan kapal lain hingga jarak 36 mil.
Untuk kapal berukuran panjang 125 meter dan lebar 22 meter ini, membelokkan rute pelayaran tak sesederhana seperti membelokkan mobil di jalan raya. Butuh waktu sekitar 15 menit agar haluan kapal tepat mengarah pada rute perjalanan yang baru. Proses membelokkan kapal ini membuat perut semakin mual dan kepala pusing karena kapal terus bergoyang.
Untuk lego jangkar atau berhenti di tengah laut, membutuhkan waktu sekitar 20 menit hingga kapal benar-benar diam tidak terseret arus. Sehingga kalaupun melihat sesuatu seperti jenazah atau puing pesawat, kapal ini tidak dapat langsung bergerak mendekat dan menerjunkan awak kapal atau penyelam. Kapal harus menurunkan sekoci, baru kemudian para penyelam mengemudikan sekoci tersebut menuju titik sasaran.
Proses seperti itulah yang dilakukan saat KRI Banda Aceh, sebagai kapal markas untuk SAR laut, menerima transfer jenazah dan puing pesawat dari kapal-kapal lain. Ditambah lagi kondisi cuaca kerap tak bersahabat, sehingga menghambat proses pencarian dan evakuasi.
Sebab jika cuaca buruk, arus di dalam air semakin cepat sehingga membahayakan penyelam. Bahkan saat laut terlihat biru dan tenang, arus di dalamnya ternyata cukup kuat, seperti saat penyelaman pertama pada Minggu (4/1) lalu di mana kecepatan arus mencapai 5 knot.
"5 Knot itu kencang. Kalau mencapai 7 knot, itu sangat berbahaya," tutur komandan tim penyelam gabungan, Kapten Wido Dwi.
(kff/mad)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini