Berbekal mesin ketik lawas bermerek Olympia, sebuah meja, dan dua bangku kayu, wanita yang memiliki dua anak ini menjual jasa pengetikan manual. Mulai dari pukul 09.00 WIB-18.00 WIB, Antini menunggu pelanggannya di Jalan Colombo, Yogyakarta, atau di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Menjadi juru ketik manual bukan baru saja dilakoninya. Sejak tahun 1991, setelah lulus dari bangku SMK (dulu SMEA), Antini bekerja menjadi juru ketik mesin tik di kawasan Sapen, dekat kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Setahun bekerja, Antini kemudian membuka kiosnya sendiri di Demangan hingga tahun 1998. Kemudian mulai dari tahun 1998 hingga November 2014, wanita yang kerap disapa pelanggannya dengan nama Shinta ini pindah ke sebuah kios di pertigaan Jalan Colombo.
Namun, semakin hari seiring dengan kecanggihan teknologi komputer, pendapatannya semakin menurun. Antini tak mampu lagi menyewa kios.
Keadaan itulah yang membawa Antini kini membuka usahanya di pinggir jalan, di depan kios buah di Jalan Colombo.
"Tahun 94 sebenarnya sudah menjamur rental komputer. Dulu teman-teman seprofesi saya banyak. Pak Ali, sekarang jualan degan. Di Jalan Kaliurang ada Mas Marno, tapi sekarang nggak tahu sudah lama nggak ketemu," tutur Antini.
Wanita yang tinggal di Desa Triwidadi, Pajangan, Bantul ini mengaku, sering ditanyai teman-temannya karena masih bertahan dengan pekerjaannya ini.
Meski sudah banyak ditinggalkan, Antini tetap bertahan dengan mesin ketiknya karena dapat membagi waktu sebagai ibu rumah tangga dengan mudah.
"Dulu tahun 1991, harga ketik 1 lembar Rp 40 rupiah. Saat itu mahasiswa kan ngetik skripsi masih pakai mesin ketik. Lalu naik jadi Rp 70, Rp 150, sekarang kalau di saya Rp 2.500, kalau surat berharga Rp 5.000 sampai Rp 7.000," ujarnya.
Saat ini Antini mengandalkan pendapatan dari para pelanggan lamanya. Untuk menambah penghasilan, Antini juga menerima jasa service mesin ketik.
Jasa service mesin ketik dibanderol Rp 50 ribu-Rp 60 ribu. "Harga itu sudah saya cek semua sampai cuci juga," tuturnya.
Pelanggannya memang tak banyak lagi. Namun Antini tak mau patah semangat.
"Saya yakin tetap akan dibutuhkan. Orang-orang yang dulu, ngisi data, faktur, kwitansi lebih cepat kalau pakai mesin ketik. Dan saya bisa ditunggu," kata Antini sambil tersenyum.
"Sekarang mungkin sehari dapat Rp 20 ribu- Rp 25 ribu, saya syukuri. Kalau tidak, ya saya cukupkan," pungkasnya.
(sip/fjr)