Dikutip dari Majalah Detik edisi 162 yang terbit Senin (5/1/2015), Kepala Penelitian dan Pengambangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian menuturkan kondisi cuaca seperti yang dialami AirAsia di wilayah tersebut merupakan hal rutin pada bulan-bulan ini. Sebab zona konvergensi intertropikal bergeser ke arah selatan yang sedang musim panas.
Naiknya suhu permukaan laut dan konsentrasi udara basah di wilayah barat Indonesia menjadi ladang subur bagi terciptanya awan-awan badai berskala besar atau cumulonimbus. Dari citra satelit inframerah, suhu puncak gumpalan awan itu sekitar minus 85 derajat celcius. Dia menyimpulkan adanya butiran es dalam gumpalan awan tersebut. Sedangkan suhu udara pada ketinggian 32 ribu kaki di lintasan pesawat AirAsia berkisar minus 29,3 derajat celcius.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi sejumlah pilot awan cumulonimbus yang dikenal dengan istilah CB tersebut harus dihindari. Namun pilot senior Dwi Harso Syah tak ingin menyebut awan yang bermuatan listrik tersebut sebagai musuh bagi pilot. Karena awan CB selama ini bisa diatasi dengan baik oleh para pilot.
"Awan CB itu sahabat kami. Dia ada dan kami juga ada. Dia bukan musuh yang seolah-olah tidak bisa diatasi. Mendengar analisa para pakar itu, saya malah jadi takut sendiri sekarang. Padahal sebagai pilot yang telah puluhan tahun bekerja, saya sudah berkali-kali terbang dan masuk ke taifun, tapi ya bisa teratasi dengan baik," kata Dwi kepada wartawan saat melayat awak kabin AirAsia, Wismoyo Ari Prambudi, di Klaten, Senin (5/1/2015).
(van/nrl)