Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan jaksa yang menuntut mati anggota kartel narkoba internasional, Yap Wai Choong (34). WN Malaysia ini menjadi mandor pabrik narkoba di Citra Garden, Jakarta Barat. Lalu, kapan jaksa mengeksekusi mati Choong?
Choong masuk ke Indonesia pada 2012 atas suruhan Ah Weh. Choong diberi janji akan diberikan gaji Rp 6 juta ditambah Rp 15 juta per bulan oleh Ah Weh. Sesampainya di Jakarta, Choong lalu menginap di sebuah hotel dan keesokan harinya ia didatangi orang suruhan Ah Weh.
Dalam pertemuan itu, Ah Weh diberi sebuah kunci rumah yang beralamat di Citra Garden. Selidik punya selidik, rumah itu merupakan pabrik narkoba jenis sabu. Setelah itu, Ah Weh terlibat dalam bisnis narkoba itu. Ia menjadi mandor pabrik dan ikut mengedarkan sabu dengan pangsa pasar domestik dan internasional. Pabrik ini dikendalikan langsung dari Malaysia. Pada 28 November 2012, anggota Mabes Polri menggerebek tempat tersebut dan menemukan 210 kg sabu!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 17 Juli 2013, jaksa meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Choong. Gayung bersambut, Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) mengabulkan dan menjatuhkan hukuman mati kepada Choong pada 28 Agustus 2013. Hukuman ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 14 November 2013. Atas putusan ini, Choong mengajukan kasasi tapi kandas.
"Menolak permohonan kasasi Yap Wai Choong," putus MA yang dilansir di websitenya, Senin (29/12/2014).
Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota Surya Jaya dan Sri Murwahyuni. Ketiganya menyatakan hukuman mati masih tetap dimungkinkan dan dibenarkan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Terdakwa telah menguasai dan menyimpan narkoba dalam jumlah banyak yakni 210 kg siap edar kepada para bandar dan selanjutnya dijual kepada masyarakat," ujar majelis pada 21 Mei 2014 lalu.
Setelah mengantongi putusan berkekuatan hukum tetap, lantas kapan Choong dieksekusi mati? Berdasarkan catatan detikcom, jaksa enggan melaksanakan putusan meski pengadilan telah memenuhi tuntutannya. Ambil contoh di kasus pabrik narkoba terbesar di Asia, aparat membekuk 9 orang pengelola pada 2006.
Jaksa mengajukan tuntutan mati kepada mereka. Tapi setelah dipenuhi pengadilan, salah satu terpidana, Benny, malah dibiarkan hidup oleh jaksa di LP Pasir Putih. Gara-gara tidak ditembak mati jaksa, Benny kembali membangun pabrik narkoba dengan mengendalikan dari balik penjara.
Jaksa juga sudah satu dasawarsa lebih tidak mengeksekusi mati A Yam, Denny dan Jun Hau yang membangun pabrik ekstasi terbesar se-Asia Tenggara di Batam. Padahal pada Juni 2003, jaksa menuntut A Yam dkk dengan hukuman mati. Tapi lagi-lagi setelah dipenuhi pengadilan permintaan itu, jaksa tidak segera melaksanakannya.
Lalu bagaimana dengan kasus Bali Nine? Jaksa juga menuntut Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dihukum mati pada Januari 2006. Tapi lagi-lagi, jaksa hingga saat ini tidak kunjung melaksanakan putusan pengadilan yang mengabulkan tuntutannya dengan alasan terdakwa masih mengajukan peninjauan kembali (PK).
(asp/nrl)