Kemenag: Nikah Siri di Depan Lancar, Di Belakang Bubar

Kemenag: Nikah Siri di Depan Lancar, Di Belakang Bubar

- detikNews
Rabu, 24 Des 2014 15:32 WIB
Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) mengatakan ada beberapa faktor yang mendorong orang lebih memilih menikah siri ketimbang resmi. Salah satunya adalah kepraktisan prosedur birokrasi.

"Memang (nikah siri urusannya lebih gampang daripada di KUA). Tapi yang tidak ribet di depan bisa ribet di belakang," ujar Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Machsin dalam jumpa pers di Kantor Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (24/12/2014).

"Kalau yang lewat KUA memang agak ribet di depan tapi di belakang mulus. Kalau cerai punya anak gimana nanti (urusannya)," lanjutnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski mudah dan proses birokrasinya tidak berbelit-belit, kata Machsin, namun secara biaya pelaksaan nikah siri jauh lebih mahal. Sementara kalau menikah di KUA yang otomatis tercatat secara resmi baik di mata agama maupun negara tidak dipungut biaya sama sekali.

"Tarifnya Rp 2-7,5juta. Mestinya mereka bisa bayar lebih murah daripada itu di KUA karena KUA gratis," sambung Machsin.

Bagi calon pasutri yang ingin mengadakan hajatan di luar KUA, bisa cukup mengeluarkan biaya sebesar Rp 600 ribu untuk pemanggilan penghulu melalui rekening bank KUA setempat. Machsin pun menyarankan agar masyarakat, terutama kaum perempuan bisa berpikir lebih panjang dan tidak mengambil jalan pintas dengan cara menikah sirri.

Lantas apabila nikah siri lebih banyak mudharat (kerugiannya), mengapa tidak dilarang saja oleh negara atau ulama dengan mengeluarkan fatwa?

Machsin menjawab, sampai dengan saat ini sendiri masih banyak perdebatan di kalangan ulama mengenai boleh atau tidaknya nikah siri.

"(Nikah siri) Dibolehkan oleh ulama. Syarat nikah menurut fiqih kan cukup ada 2 calon pengantin, 2 saksi dan ada orang yang menikahkan bisa wali atau hakim. Selama 4 orang ini ada bisa jalan menurut agama. Soal negara mengharamkan nikah siri banyak pendapat," jelasnya.

"Ada ulama mengatakan boleh, tapi banyak juga berpendapat negara berhak mengatur masalah agama yang berkaitan dengan masyarakat. Jadi sebenarnya bisa diatur dengan MUI tapi banyak orang yang tidak sepakat dengan itu. Paling tidak itu melanggar hukum negara," tutup Machsin.

Bagaimana menurut Anda?

(aws/asp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads