Saat itu, seorang laki-laki yang mengikuti uji nyali diminta berdiam diri di sebuah lorong bawah tanah yang berada di Lawang Sewu selama berjam-jam. Namun sayang, laki-laki itu menyerah saat mengaku melihat sesosok bayangan putih di ujung lorong.
Memang terlihat menyeramkan apabila melihat betapa gelap dan pengapnya lorong bawah tanah tersebut. Namun sebenarnya lorong itu berfungsi sebagai saluran air di masa kolonial. Maka tak heran apabila suasana di dalam lorong itu pengap dan juga gelap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Ari juga menceritakan bahwa sebenarnya lorong itu juga berhubungan dengan beberapa bangunan kuno di Kota Lumpia. Memang banyak sekali bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda seperti di kawasan Kota Tua dan juga beberapa bangunan yang sekarang menjadi sekolah dan juga rumah sakit.
"Lorong ini kan memang aslinya menghubungkan bangunan tua di Semarang. Yang sudah ketahuan seperti di daerah Kota Lama," ucap Ari.
Kawasan Kota Lama sendiri jaraknya sekitar 4-5 kilometer dari Lawang Sewu. Namun konon katanya lorong-lorong tersebut memang tak sembarangan bisa dimasuki oleh masyarakat umum. Sebab selain gelap, dikhawatirkan adanya gas beracun yang berbahaya.
Sayangnya ketika detikcom menyambangi Lawang Sewu, akses menuju ke lorong tersebut sedang dalam renovasi. Sebab tangga untuk turun ke dalam lorong itu rusak. Namun saat beberapa tahun lalu mengunjungi Lawang Sewu, pengunjung bisa merasakan sensasi berada di lorong tersebut.
Lorong itu hanya berukuran tinggi tak lebih dari 2 meter. Di beberapa celah malah terkadang pengunjung harus membungkuk. Sementara itu alasnya selalu dibanjiri air, makanya pengunjung harus memakai sepatu boot.
"Air di lorong itu memang nggak akan kering. Karena di bawah itu kan memang lembab. Kalau benar-benar kering mungkin saat kemarau yang benar-benar panas. Airnya nanti kan menguap," kata Ari.
Satu lagi kisah yang menyelimuti lorong bawah tanah Lawang Sewu yaitu ketika Jepang berhasil menduduki Semarang. Saat itu Jepang menggunakan lorong tersebut sebagai penjara. Padahal di masa kependudukan Belanda, Lawang Sewu difungsikan sebagai kantor perkeretaapian.
Di masa kependudukan Jepang, para tahanan baik dari pribumi maupun orang Belanda dikurung di dalam lorong bawah tanah. Ada dua jenis ruang tahanan yaitu penjara jongkok dan penjara berdiri.
Penjara jongkok itu berada di lorong bawah tanah yang bentuknya seperti bak ukuran tinggi 0,5 meter. Para tahanan harus jongkok di dalamnya dan diisi air hingga sebatas leher lalu bak itu ditutup teralis besi.
Sementara penjara berdiri itu hanya berukuran sekitar 1 meter x 1 meter. Kemudian para tahanan yang jumlahnya sekitar 7-8 orang akan berdiri berhimpitan di dalam penjara itu. Memang penjara itu tidak dimaksudkan untuk menahan namun untuk menyiksa para tahanan hingga kemudian tewas dan dilempar ke sungai di belakang Lawang Sewu.
(dha/ndr)