Jakarta - Sampai saat ini pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) masih tersendat. Proyek raksasa ini diragukan bisa menyelesaikan masalah banjir di Jakarta.Dulu, tahun 1920-an ketika kota ini masih bernama Batavia, penguasa setempat sudah merancang rencana penanggulangan banjir yang cukup canggih di masanya. Dikenal dengan Rencana Van Breen, sebuah saluran kolektor, kemudian disebut banjir kanal (digali mengitari kota ke arah barat untuk membuang limpahan air ke Laut Jawa melalui Muara Angke).Jejak saluran yang dibangun tahun 1922 ini masih berfungsi hingga sekarang, yaitu yang kita kenal sebagai Pintu Air Manggarai. Inilah yang kemudian disebut Banjir Kanal Barat (BKB). Selesai dengan Kanal Barat, Van Breen kemudian merancang saluran Kanal Timur yang berhulu di Kali Cipinang dan bermuara di Laut Jawa.Ide Van Breen sebetulnya sederhana, usir aliran air yang masuk Jakarta ke kiri dan kanan sehingga tak ada yang sempat jalan-jalan, apalagi betah bersemayam di kota. Tapi ide sederhana tak selalu bisa terwujud. Meski gagasan Breen itu masih menjadi semacam kiblat pembangunan saluran di Jakarta, toh hingga sekarang baru Kanal Barat yang terwujud. Kanal Timur masih menjadi impian.Mimpi Breen itulah yang dicoba diwujudkan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Gubernur Sutiyoso. Proyek yang rencananya selesai tahun 2010 ini diilhami rencana Van Breen, yaitu membuat kanal yang membentang sepanjang 23 kilometer (dengan lebar 100-300 meter dan kedalaman 3-12 meter) dari Kali Cipinang di Jakarta Timur hingga Laut Jawa.Pembangunan BKT ini memiliki sejumlah tujuan, yakni melindungi wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara seluas 270 Km2 dari banjir. Banjir di wilayah ini disebabkan oleh luapan air dari sejumlah sungai, seperti Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. Selain itu BKT diharapkan bisa mengurangi 13 kawasan yang rawan genangan air.Sejumlah manfaat juga diharapkan bisa dipetik dari pembangunan BKT. Selain menanggulangi banjir, BKT juga dinilai bakal mendukung Jakarta Timur dan Jakarta Utara menjadi daerah yang bernuansa water-font-city. Tumbuhnya sarana transportasi air, pelabuhan dan pariwisata. Termasuk juga menjadi pengimbuh air tanah dan penyedia air baku.Pembangunan proyek BKT memiliki sumber dana dari APBN. Total pembiayaannya mencapai Rp 4,124 triliun. Rinciannya, Rp 2.186 triliun untuk pembebasan tanah, dan Rp 1.938 triliun untuk pembangunan fisik. Tahapan pelaksanaan pembangunan fisik pada tahun anggaran 2004 berasal dari sumber dana APBN 2004 sebesar Rp 77 miliar, untuk 6 paket pekerjaan.Meski telah diresmikan, pada kenyataannya, proyek ini mengalami berbagai hambatan. Salah satunya yang paling pokok adalah soal pembebasan lahan. Warga dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI masih belum sepakat soal harga tanah. Pemerintah menilai harga yang diminta warga tidak rasional. Sebaliknya, warga menganggap tawaran pemerintah sangat rendah. Warga juga banyak yang mengaku belum diajak berbicara soal ganti rugi. Masalah ini juga yang menyebabkan target penyelesaian tahap pertama, yang mestinya kelar akhir tahun lalu, hingga sekarang belum juga kelar."Kesulitan kami itu ada di permasalahan sosial. Sampai sekarang kendalanya di situ. Lami baru bisa bekerja bila tanah sudah dibebaskan. Namun tanah sudah bebas pun kadang-kadang rakyat masih tinggal di situ, contohnya di Cipinang. Lokasi itu sudah dibebaskan tahun 1998, ya itulah Indonesia," kata Pimpinan Proyek BKT, Pitoyo Subandrio, kepada
detikcom.Selama tahun 2003 saja pembebasan lahan telah mengisap dana APBD Jakarta sampai Rp 100 miliar. Untuk tahun 2004, pembebasan tanah dianggarkan Rp 150 miliar. Tidak banyak, karena uang itu hanya cukup untuk membayar 20 hektar tanah alias 10 persen dari total lahan yang harus dibebaskan. Sementara untuk tahun 2005, Pemda DKI menggelontorkan dana Rp 450 miliar.Kalaupun proyek itu selesai tepat waktu, pertanyaan yang masih menggantung adalah benarkah ini pemecahan jitu mengatasi banjir Jakarta. Kelak, saluran ini akan memotong lima aliran sungai, yakni Kali Sunter, Cipinang, Jati Kramat, Buaran, dan Cakung, lalu dialirkan ke Marunda untuk kemudian dilempar ke laut."Saya katakan BKT tidak dapat mengendalikan banjir di seluruh Jakarta, tapi hanya sebagian Jakarta. Seperti masalah lalu lintas,
underpass di Cawang dibangun untuk mengatasi kemacetan di sekitar Cawang. Bukan di Grogol atau Tanah Abang. Jadi jangan diekspos bahwa BKT itu segalanya bagi Jakarta," ungkap Pitoyo.Tapi ini juga jangan diartikan daerah yang lebih rendah dari BKT tidak diurus. Di daerah-daerah rawan genangan air atau cekungan ini akan dibuat folder (penampung air). Selanjutnya air dari folder-folder ini akan dipompa ke BKT.Mengharapkan segalanya pada BKT memang tidaklah tepat. Proyek ini diprediksi hanya bisa mengatasi 25 persen problem banjir di Jakarta, yakni di kawasan yang benar-benar terletak berdekatan dengan BKT. Lebih dari itu, pemerintah sebaiknya juga berpikir bagaimana memanfaatkan air itu kembali dari pada cepat-cepat membuangnya.Bagaimana membuat suatu strategi agar air bisa dimanfaatkan kembali ketika kemarau juga merupakan hal yang penting. Pasalnya, selama kemarau Jakarta selalu dilanda krisis air. Jadi pemerintah memang perlu melakukan langkah yang memperhatikan keseimbangan ekologis secara signifikan."Jika memang itu yang diinginkan, kita harus membuat sabuk hijau di telukJakarta. Di samping untuk melindungi agar tidak terjadi interusi air laut yang sampai hari ini sudah mencapai 14 Km, sabuk hijau itu ketika musim hujan air akan diresap dan ditangkap," kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Slamet Daroyani kepada detikcom.Jika memang demikian, Jakarta agaknya masih harus menunggu lama untuk bebas dari banjir. Saat ini bebas dari bencana tahunan tersebut masih merupakan mimpi bagi warga Jakarta.
(djo/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini